Rabu, 01 Agustus 2007

Goresan Namamu

Malam belum begitu larut, namun demikian tidak seperti biasanya, suasana kontrakanku malam itu terasa sepi. Hanya detak jarum jam dan suara binatang malam yang terdengar. Angin malam yang masuk melalu celah jendela yang sengaja aku buka, membawa dinginnya hawa malam yang bercampur dengan bau tanah yang basah oleh guyuran hujan setengah jam yang lalu. Sebenarnya aku telah berjanii dengan salah seorang rekan kerjaku untuk belanja bersama selepas magrib, namun Tuhan berkehendak lain, derasnya air hujan memaksaku untuk mengurung diri di kamar.
“Aku butuh dut Fi”, katamu memecah kebisuan di antara kita. Ku henti kansejenak pekerjaanku dan ku alihkan perhatianku kearahmu. Terlihat kemilau cahaya lampu memantul dari rambut yang masih basah. Di luar memang masih gerimis, namun kamu nekad datang ke sini. Pasti ada keperluan mendesak.
“Aku bututh banget fi, duitku tinggal tujuh ribu limaratus rupiah. Kirimanku belum datang.” Kamu mencoba menjelaskan.
“Bukannya kamu sudah menulis banyak artikel di media massa? Terakhir hari rabu kemarin aku baca artikelmu di Koran lokal. Kemana uangnya?” kataku kembari mengambil handuk dan memeberikannya kepadamu untuk mengeringkan rambutmu. Lama aku menunggu, namun kamu hanya membisu, tak sepatah kata pun yang terucp dari bibirmu, sebagai jawaban pertanyaanku. Mungkin aku yang salah jika harus bertanya seperti itu, karena kamu sekarang tetap kamu yang dulu, yang pertama aku kenal di sebuah acara seminar di sebuah PTN yang kamu dan kawan-kawanmu selenggarakan.
Sejak perkenalan pertama itu kita sering bertemu dalam forum-forum diskusi dan seminar ataupun acara-acara ilmiah lainnya yang diadakan di kota pelajar ini. Aku melihatmu selalu aktif dalam forum-forum tersebut. Pertanyaan dan sanggahan selalu meluncur dengan lancara laksana aliran air yang tak terputus. Ternyata tidak hanya dalam forum, pemikiranmu yang liberal, radikal dan kritis terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan agama selalu tersusun rapi dalam untaian kata yang tertuang dalam beberapa majalah dan surat kabar, baik dalam bentuk cerpen, artikela, essay maupun puisi. Tak nampak sedikitpun goresan keraguan. Kau lontarkan gagasanmu, mengkritik para birokrat, pilitisi, bahkan agamawan. Dari masalah lingkungan, illegal logging, terorisme, KKN dan masalah-masalah sosial lainnya. Semakin hari semakin banyak tulisan mu menghiasai majalah dan surat kaba-surat kabar terbet. Itulah yang membuat namamu kian dikagumi oleh public, termasuk aku sendiri.
Pernah aku melihatmu pada suatu siang, ketika kamu sedng melakukan aksi turun jalan bersama teman-temanmu di sebuah kantor pemerintahan. Sebelumnya aku telah mengira, melihat penampilanmu, caramu berbicara, caramu berpakaian yang terkesan apa adanya dan rambutmu yang tak pernah rapi serta tas lusuh yang selalu kamu tenteng ke mana-mana, kamu adalah aktivis pergerkan yangsering disebut oleh orang-oarangsebgai gerakan kiri. Aku sendiri tidak tahu apa itu gerakan kiri atau kanan, Karena memang aku bukan aktivis. Aku termasuk kebanyakan mahasiswa yang kamu kategorikan sebagai manifest mahasiswa segi tiga, kos, kampus dan warung makan. Dan aku tak pernah menyangkal itu. Begitu juga ketika kamu datang ke kosku, mengajak aku berdiskusi.
“Kita ini mahasiswa, harapan rakyat. Sebagai kelas menengah, mahasiswa adalah agent of change bagi bangsa ini. Apa jadinya kalau mahasiswa sudah tidak peduli dengan masalah yang dihadapi oleh bangsanya? KKN, penggusuran,kemiskinan dan seabrek masalah sosial lainnya. Mana kepedulianmu?.” Aku hanya diam, mendengarkan dengan khidmat tanpa sepatah kata erucap. “kau masih ingat “sahadat pembebasan” dan lagu Darah Juang yang pernah kita nyanyikan saat OSPEK dulu?”. Ku biarkan kamu meluapkan isi hati dan pikiranmu, dan aku hanya bisa menjawab bahwa aku tidak ingin studiku terganggu sehingga menghabiskan banyak biaya, kaerna pendidikan mahal saat ini menjadi rahasia umum.” Justru itu kita harus bertindak dan menuntut pendidikan murah”.
Bukankah sejak dulu pemerintah telah mencanangkan pendidikan murah untuk semua lapisan masyarakat? Tapi mana buktinya? Kian hari kian mahal aja pendidikan kita”. Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa aku sadari sejak kapan aku meniru gaya diplomatismu itu, “otonomi kampus yang menyebabkan komersialisasi pendidikan menjadikan biaya pendidikan selangit, dan aku beruntung masih bisa kuliah, makanya aku tidak ingin kuliahku terbengkalai dan menghamburkan biaya sia-sia karena aku harus ikut demo kayak kamu”
“Yah kamu untung kamu bisa kuliah, karena kamu anak orang kaya, tapi bagaimana dengan merka, anak orang-orang miskin yang makan sehri aja susah? Jerih payah mereka tidak cukup untu menghidupi keluarganya, bahkan sebagian mereka terancam digusur. Bagaimana mereka bisa sekolah?”
“Salah sendiri mereka miskin. Mereka miskin itu karena mereka pemalas, cuman ongkang-ongkang, gak mau kerja. Aku bisa sekolah kayak gini karena orang tuaku mau banting tulang, peras keringat untuk mencari uang”. Begitulah cerita orang tuaku.
“Realistislah, mana ada orang yang miskin? Mustahil kalau ada. Mereka miskin karena ketidakadilan dan kezhaliman para pengusa, kesewenang-wenagna mereka yang hanya mementingkan perut mreka sendiri”. Kalimat menggebu-gebu laksana seorang pengacara pembela kasus di suatu peradilan, “mereka membagi-bagikan uang negara untuk keluarga, teman dan golongannya saja, tanpa pernah melihat penderitaan rayat.
Aku tak tahu berapa lama lagi percakapan itu berlangsung, yang jelas aku sudah tidak bisa memahami pembicaraanmu yang semakin membumbung ke atas awan.
Siang itu, aku tidak tahu entah keberapa kalinya, aku melihatmu aski bersama teman-temanmu seperti hari-hari sebelumnya. Idealismemu kau tampakan pada saat itu. Gagasan dan kritikmu meluncur dari sela-sel kedua bibirmu dengan suara yang lantang dan penuh keberanian dn didorong semangat yang membara dalam dirimu. Engkau laksana Bung Karno yang mampu berorasi berjam-jam degnan semangat yang berapi-api, atau Bung Tomo yang mampu mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo dalam peristiwa 10 November. Dan itulah akhir kalinya aku melihatmu di kota pelajar itu. Sampai kini aku masih tetap membaca tulisa-tulisanmu di media masa, meski aku sudah indah kota dan berkeluarga.
***
Ku dorong sepeda motorku memasuki perkarangan rumah. Aku lupa mengisi minyak ketika aku melewati pom bensin sekeluarnya aku dari tempat kerja, akibatnya motorku kehabisan bensin. Untung sudah di depan rumah, jadi aku tidak terlalu suah. Tapi tetap saja hati ini dongkol karena kelalaianku. Namun semua itu hilang terhapus oleh senyum manis Raflisiati, istriku, yang menyambutku di depan pintu.
Kuterima bingkisan yang ia sodorkan kepadaku. “Tadi, sekitr setengah satu ia ke sini”. Jelas istriku, sembari melangkah ke dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan segelas air putih di tangannya. “Dia cuman bilang terimakasih ama mas sekaligus minta maaf dan menyesal karena tidak bisa bertemu dengan mas. Dia masih banyak urusan.” Lanjutnya.
Kuamati bingisan itu, di salah satu bagain bingiksan itu terdapat namaku “Dear Sahabatku Afifi”. Beberpa jumlah uang dan sepucuk surat. Mungkin uang yang kamu pinjma dulu. Tetapi jumlah itu lebih dari yang kamu pinjam. Dalam suratmu, kamu mengatakan bahwa kelebihan uangggg itu sebgai ucpan terimakasimu, kamu juga bercerita kalau kamu kini bekerja pada salah satu departemen kementrian. Aku tidak heran, karena eku sering dengar itu dari media masa. Kamu pun minta doa agar kamutetap dalam cita-cita idealismemu. Wajar kamu jarang menulis lagi di media masa.
***
Pagi itu adalah hari pertamaku menghirup udara pagi di kota ini, setelah tiga bulan lamanya aku di Tokyo. Sebenarnya badan ini masih terasa lelah, namun perusahan tempat aku bekerja memintaku untuk segera menyampaikan hasil penelitian sekaligus pertemuan dengan beberapa rrelasi perusahan di Tokyo.
Kuhangatkan perutku pagi itu dengan beberapa teguk kopi lampung buatan istriku. Namun belum juga habis secangkir kopi itu, buru-buru aku melangkah menuju garasi setelah aku menyadari bahwa hari sudah mulai siang. Ketiga anak-anakku pun aku suruh bergegas agar mereka tidak terlambat masuk sekolah.
“Subhanallah”, jeritku. Aku biarkan keterkejutan ketiga anakku. Aku langsung turun dari mobil dan bergegas masuk rumah. Aku lupa membawa laporannya. Semalam laptop sengaja aku simpan agar tidak buat mainan anak-anakku. Saat aku masuk rumah, kulihat istriku menuruni tangga dan membawkan laptop itu. Langsung aku menyahutnya. “Terimakasih mama”. Kataku manja. Aku segera kembali keluar, dan berhenti sejenak melihat Koran langgananku di teras. Entah apa yang membuatku tertarik untuk membacanya, meskipi aku sadar waktu berlalu dan tidak pernah berhenti. “Cukup headline-nya saja” pikirku.
Kudapati lagi namumu tertulis di lembaran surat kabar itu. Bahak kali ini dengan cetak tebal. Namamu juga menghiasi lembaran-lembaran yang lainnya, termasuk juga opini. Namun aku yakin itu bukan tulisan mu, karena meskipun tulisan tersebut lugas, namun tidak setajam analisimu. Dan yang lebih meyakinkan aku lagi adalah judul artikel tersebut “Menyoal kasus Korupsi Zulfa Munawar”. Ku lemparkan surat kabar tersebut ke sudut teras rumahku dan segera ku laju mobilku merayapi jalan-jalan yang tidak pernah sepi dari kemacetan.

Tidak ada komentar: