Minggu, 12 Agustus 2007

Mikraj

Salim berjalan menyusuri gang-gang sempit yang hanya diterangi lampu lima watt, menuju rumahnya yang terletak di bantaran sungai. Lumayan jauh, namun Salim selalu menyempatkan diri untuk pergi ke masjid pada saat-saat shalat wajib. Kebiasaan ini telah lama ia lakoni, sejak kedatangannya ke kota ini lima tahun yang lalu. Keberhasilan teman-teman sekampungnya yang mengadu nasib di ibu kota membuatnya tergiur dan kemudian membawanya keluar kampung untuk pertama kalinya bersama teman-temannya yang telah bertahun-tahun merantau dan selalu pulang dengan membawa uang yang banyak dan oleh-oleh untuk keluarga. Nail, anaknya selalu mendapat hadiah satu stel pakaian dari Bambang, Pamannya, setiap hari raya Idul Fitri. Sementara Salim sendiri tidak bisa memberi apa-apa pada sanak saudara dan keponakan-keponakannya, paling-paling dia hanya memberikan satu setel pada Ningsih, istrinya, dan satu setel untuk Nail. Dia sendiri hanya mengenakan pakain-pakain yang dibelinya menjelang lebaran tiga tahun yang lalu. Itulah yang membuatnya iri bila melihat teman-teman sepermainannya dulu pulang dari Jakarta.
“Kamu tega meninggalkan anak istrimu di kampung?”, Tanya emak-nya ketika dia mencoba berkonsultasi dengannya pada suatu malam selepas shalat Isa’.
“Yah, emak kan tahu, lahan garapan saya di kampung tinggal sedikit”, jelas Salim. Beberapa petak sawahnya memang telah dia jual untuk biaya pengobatan Nail saat dia harus menginap di rumah sakit selama satu minggu akibat serangan malaria.
“Kamu kan bisa cari garapan di tempat saudara-saudaramu, pasti mereka juga akan memberi garapan, kalau memang ada”.
“Tapi mak, aku malu harus bergantung terus dengan mereka”. Bantahku.
“Kalau itu memang sudah menjadi tekadmu, ya terserah kamu, yang jelas kamu bicarakan hal ini terlebih dahulu dengan istrimu, karena dia mempunyai hak atas kamu, dan kamu punya tanggung jawab atas dia dan anak kalian,” kata emak. “terus kapan kamu berangkat?”. Tanya emak.
“Besok mak, bareng mas Bambang,” terangku. Emak nampak terperanjat mendengar jawaban salim.
“Lho kamu ke sini cuman pamit, tidak minta pertimbangan ama mak!” masih dalam rasa keterkejutan emak masuk ke kamarnya dan tidak lama kemudian keluar kembali dan menyerahkan beberapa lembar uang kepadanya.
“Jangan kau tinggal shalat, di manapun kamu berada. Cuman itu pesan emak”.
Salim selalu ingat pesan emak-nya, dan itulah pesan terakhir orang yang paling mengasihinya itu. Enam bulan setelah kepergiannya dari kampung halaman, Salim menerima berita tentang kepergian emak, menyusul bapaknya yang meninggal tiga tahun sebelumnya. Salim menyesal karena tidak menunggui di sampingnya. Hingga kini ia masih tekun melaksanakan shalat lima waktu.
***
Siang itu nampak gerakan tangan Salim tiada bertenaga, sehingga daun-daun kering yang berserakan di pinggir jalan raya itu kerap tidak terhempas oleh ayunan sapunya. Teman-teman seprofesinya heran melihat kelakuan Salim yang ganjil seperti itu. Sudah bertahun-tahun mereka bekerja dengan Salim di dinas kebersihan kota, mereka selalu meliahat laki-laki itu bekerja dengan semangat dan muka yang sumringah, namun kali ini wajah Salim nampak murung laksana langit yang tertutup mendung.
“Aku ingin mikraj, Gi.” Jawabnya ketika ditanya mengapa? Sontak jawabannya mengagetkan Gianto dan rekan-rekannya yang kemudian menghentikan ayunan sapunya. Jelas sekali keheranan nampak pada wajah-wajah mereka, kecuali Warijan. “Mimpi apa aku semalam Lim-lim, kok jadi ngelantur gitu” katanya sembari tetap menyapu daun-daun kering yang berserakan, sesekali berjingkrak meloncat ke pinggir, menghindari mobil mewah yang hendak menyerempetnya.
“Apa kalian tidak dengar kata khatib jumat tadi?” Tanya salim kepada kawan-kawannya. “Apa kamu tidak dengar Jum?” Jumat, laki-laki bertubuh kecil dan berkulit hitam yang disebut namanya itu menoleh ke arah Salim tanpa mengentikan tangannya.
“Wah, aku tadi ketiduran, Lim. Maklumlah, capek.” Kilahany, “Emang ustadznya bilang apa?”
“Dia bilang, yang tidur waktu shalat jumat dia akan kesasar ke tika hendak masuk surga” gurau Salim. “nama kamu aja yang Jumat, tapi prilakkumu itu lho, tidak mencerminkan namamu.”

Sesampai di rumah, salim melepas seragam orange-nya, menuju kamar mandi dan bergegas ke masjid untuk shalat magrib. Sepulangnya dari masjid, ia duduk di ruang rumah, merenung. Isi khutbah tadi siang masih melekat erat dalam ingatannya. Bulan ini adalah bulan rajab, kata khataib tadi. Pada bulan inilah Nabi Muhammad menerima perintah shalat lima waktu dengan cara mikraj, bertemu langsung dengan Allah. Pantas saja kalau emak-nya selalu mewanti-wanti dia untuk melaksanakan shalat fardhu itu, karena memang perintahnya sangat istimewa. Itulah yang menjadikannya berkeinginan untuk mikraj, sehingga ia merasa bahwa perintah shalat itu memang diturukan untuknya.
Dan malam ini adalah tepat malam bersejarah itu, 27 rajab, di mana manusia agung itu menjelajah dunia dan mengarungi tujuh langit dalam waktu satu malam. Salim masih ingat ketika dia masih mengaji di surau, guru ngajinya menceritakan bahwa buroq, kendaraan yang dinaiki nabi saat Isra’ mi’raj adalah laksna kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda yang berkepala seorang wanita. Ah, jelek sekali kalau seperti itu. Salim baru tahu kalau itu sebenarnya adalah penghinaan pada Nabi Muhammad yang dianggap hiperseks. Salim ingin tertawa sendiri bila mengingat masa kanak-kanaknya itu. Namun kemudian ia merenung kembali, bisakah ia mikraj? Atau memang benar kata Warijan tadi siang, dia sudah tidak waras lagi?
Malam semakin larut, suara aliran sungai di samping rumahnya terdengar jelas sekali, memberikan kesejukan di hati Salim dan siapa saja yang mendengarnya, meskipun airnya yang hitam pekat itu menebarkan aroma busuk limbah pabrik dan rumah tangga. Bagi yang belum terbiasa pasti akan merasa mual-mual, tapi inilah tempat kontrakan termurah. Sementara di dapur terdengar cicit tikus yang sedang bermain kejar-kejaran. Namun seketika aroma busuk itu berganti harum wewangian saat sesosok tubuh berbalut pakain serba putih tiba-tiba hadir di depannya. Salim tidak tahu masuk dari mana orang tersebut. Lebih kaget lagi ketika orang tersebut merangkul tubuh kurusnya dan menuntunnya keluar ruangan. Ternyata orang tersebut lebih tinggi beberapa centimeter dari tubuh Salim yang bak tiang listrik, kurus dan tinggi.
“Mau kau bawa kemana aku? Dan siapa kami ini, masuk rumah orang tanpa permsi?” Salim meronta, namun tangan yang biasanya ia gunakan untuk menyapu membersihkan jalan itu tak bisa melawan genggaman orang asing tersebut.
“Bukannya kamu ingin mi’raj?” tanyanya dalam dialek yang sedikit asing dan tidak dimengerti oleh Salim.
“Sebenarnya kamu ini siapa? Dan mau dibawa ke mana aku ini?” salim mengulang pertanyaannya.
“Aku akan membawamu mikraj. Sudah aku siapkan kendaraan untukmu” jawab orang itu.
Benar apa yang dikatakannya. Salim terbelalak melihat kereta dengan dua ekor kuda berkepala seorang wanita telah siap di teras rumahnya. Mirip seperti yang digambarkan guru ngajinya di surau dulu. Ternyata di kereta telah menunggu seorang lagi. Orang asing itu naik terlebih dahulu dan diikuti Salim. Dengan hati berdesar, diletakannya pantatnya di kusri kereta yang sangat empuk. Kereta terbang. Salim terharu. Dia tidak bisa berkata-kata. Hening. Dalam kebisuan matanya mengawasi bumi dari angkas. Biru, karena bumi didominasi lautan. Salim menciut. Ternyata ia terlalu terlalu kecil di banding alam ini, bukti kemahabesaran Allah.
“Kalaulah boleh tahu, siapa gerangan anda berdua ini?” Tanya salim kepada kedua orang yang duduk mengapitnya.
“Saya Jibril, dan sebelah kiri kamu adalah Izrail.” Jawabnya singkat. Salim tertegun. Bukankah yang menemani Nabi Muhammad Isra’ mi’raj adalah Mikail, bukan Izrail. Tapi apa pedulinya, yang penting baginya adalah bertemu Tuhan di Sidratul Muntaha.
Dalam waktu sekejab, mereka telah tiba di langit pertama. Mereka disambutoleh Nabi Adam AS. Bapak manusia. Nampak juga di sampingnya Sayyidah Hawa dan Idris AS. Berbincang sejenak, mereka kemudian melanjutkan perjalannya ke langit ke dua. Di sini dia disambut oleh Nuh dan beberapa nabi yang sedikit asing bagi salim. Mungkin mereka tidak termasuk dalam bilangan 25 nabi dan rasul.
Begitulah prejalanan salim dari satu langit ke langit lainnya, dia selalu ditemui para nabi, sejak nabi Adam Idris, Nuh, Hud, Yusuf, Ibrahim hingga kemudian di langit berikutnya ia bertemu dengan nabi Musa. Salim bisa mengenalinya dari cara bicara dia yang cedal.
“Kamu ini siapa kok mau bertemu Tuhan?” gertak Nabi Musa. Salim mengkerut ketakutan, tapi tetap mencoba menguasai diri.
Sedkit gemetar Salim menjawab. “Saya hamba-Nya. Apakah salah kalau seorang hamba ingin bertemu dengan tuannya?” memang benar yang diceritakan guru ngajinya, Nabi Musa adalh orang yang keras. “bukankah ketika Nabi Muhammad mi’raj juga sebagai hamba?” lanjutnya.
“Apakah kamu tidak pernah baca Al-Quran, kitab sucimu itu? Apakah kamu tidak pernah dengar cerita ketika aku dan umatku, Bani Isra’il ingin melihat Tuhan di bukit sin dan kami tersungkur karena tidak kuat menatap cahaya-Nya?”
“Bukankah Nabi Muhammad bisa? Dan aku adalah umat Muhammad” bantah Salim, “sebagai hamba, bukankah aku sama dengan Muhammad?” rasa takutnya sudah hilang ditimpali kekecewaannya pada Nabi Musa yang mengahalinginya untuk bertemu Tuhannya.
“Muhammad adalah manusia suci. Nur Muhammad menerangi alam semesta. Wajar jika ia bertemu dan bermesra dengan kekasihnya”.
“Wahai Nabi Allah Musa, mengapa engkau menghalangi aku untuk bertemu Tuhanku?” Salim mulai memelas.
“Jauh sekali kamu mencari Tuhanmu. Bukankah Dia mewujud dalam setiap ciptaanya. Bukankah Dia pernah berkata bahwa Dia lebih dekat padamu daripada urat nadimu sendiri. Tidak ingatkah kamu tatkala Dia berkata: Wahai hambaku! Aku sakit, mengapa tidak engkau jenguk? Aku miskin, mengapa tidak enkau santuni Aku?”
“Aku hanya ingin bermi’raj sebegaimana Muhammad diperjalankan malam hari, bertemu dengan Tuhan dan mendapat perintah shalat. Demi Allah itu saja.” Jelasnya.
“Allah. Bukankah bangsamu sering membawa-bawa nama Allah untuk kepentingannya sendiri. Mengagung-agungkan Muhammad namun tidak pernah mengikuti sunnahnya, tidak pernah menggunakan metodologi dia dalam berdakwah. Dan kamu berbicara tentang perintah shalat sementara ketika kamu pergi ke sini belum melaksnakan shalat isa.”
Salim teringat akan kisah Nabi Musa yang ia baca dari komik kisah para nabi. Musa adalah nab yang keras hukumannya. Jika bajunya terkena najis, maka bukannya di cuci tetapi malah disobek. Mungkin sekarang Musa akan menghukumnya dengan cara demikian.
“Malaikat, usir dia dari tempatku.” Belum rampung Salim memikirkannya, hal itu kini telah terjadi. Dua malaikat dengan wajah seram mendatangi Salim, menyeret dan kemudian melemparkan tubuhnya yang terasa mungil di banding mereka. Salim berteriak menghiba, mengaharap kedatangan Jibril dan Izrail datang dengan buraqnya. Nihil. Salim melayang-layang di ruang hampa. Sekejab mata di melihat benda berkelebat di depannya. Yah dia adalah Izrail dengan buraqnya. Tetapi siapa yang bersamanya? Wajah itu tersenyum pada Salim, seakan dia mengenal Salim. Demikian juga Salim. Wajah itu sangat akrab dengan dia. Tapi siapa? Sembari melayang-layang Salim mengingat-ingat wajah itu.
“Bukankah itu Nail an…….?” Belum selesai Salim bicara dengan dirinya sendiri, tubuhnya telah membentur benda keras. Jatuh ke bumi. Remuk. Namun tak lama dia merasa ada sentuhan hangat dipundaknya. Dibukanya kedua matanya yang masih terasa perih. Dalam remang cahaya ia meliaht laki-laki kekar duduk di depannya, berselang meja kayu yang dibungkus kain penutup warna biru.
“Lim, emak minta kamu pulang ke kampong malam ini, bareng aku.” Salim menatap wajah orang itu. Sedikit demi sedikit kian jelas. Mas Bambang, saudara sekampung yang membawanya ke Jakarta. Ditatapnya jam baker yang diletakkan di dekat jendela. Jam 23.15. dia belum shalat Isa. Sejek habis magrib tadi dia duduk termenung di kontrakannya lalu tertidur, hingga tidak menyadari kedatangan Mas Bambang.
***
Salim menangis sesenggukkan, tersedu sedan. Matanya menatap wajah pucat pasi yang terbujur dihadapannya. Diam mimbisu, tidak mau diajak bicara. Namun Salim melihat bibir perempuan mungil itu mengulum senyum manis, senyum keihklasan. Nail meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Penyakit malarianya mendadak kambuh. Dia meninggal dengan tersenyum manis seperti yang Salim lihat dalam mimpinya, ketka Nail membumbung ke angkasa denagan menaiki buraq. Nail mi’raj, menjumpai kekasihnya.

Tidak ada komentar: