Rabu, 14 Mei 2008

Saat Kau Bisa Memanggilku Papa

Semilir angin malam membawa hawa dingin yang berbaur dengan bau lemababnya tanah. Hujan turun sepanjang sore ini. Untunglah kota ini jauh dari bahaya banjir. Atau memang belum saatnya. Dari beberapa kota besar, kota ini relatif lebih aman.
Sebenarnya kota ini tidak bisa dibilang besar, tapi karena kemashurannya dia menjadi besar. Kemashuran namanya itu juga yang membawa aku datang ko kota pelajar ini.

Sejak pertama aku menginjakkan kaki di kota tua ini, aku langsung jatuh hati alias kerasan tinggal di sini. Waktu itu kota gudeg ini masih begitu asri, udaranya masih segar. Bangunan-bangunan tinggi masih belum terlalu banyak. Mall-mall masih sangat langka, sehingga jalan rayapun tidak terlalu macet, karena orang akan lebih suka berbelanja di pasar tradisional. Teman satu kontrakan dulu bilang, belanja di pasar tradisional lebih asyik, lebih merakyat. Meskipun kini dia selalu belanja di luar negeri sembari bersafari menghabiskan uang anggaran. Studi banding, katanya. ah, ternyata sama saja dia ketika masih duduk di Lemabag Eksekutif mahasiswa.

Begitulah kota kecil ini, melahirkan ribuan orang-orang dengan beribu-ribu karakter pula. Kota ini adalah miniatur Indonesia, karena semua suku berkumpul di sini. Dari ujung Sabang samapi Merauke. Saling mengenal, berkumpul, berbaur dan melebur tanpa harus kehilangan identitas kedirian. Di sini pula aku mengenal Muna, perempuan Bugis yang kini sedang duduk gelisah di lorong rumah sakit. Matanya berkaca-kaca. Sejumput rambut menyembul dari jilbab ungu yang tidak sempat dirapikannya.

“Sudahlah Mun, kita berdoa saja, moga tidak terjadi apa-apa pada Najib”, hiburku. Aku sendir tidak yakin apakah aku juga tenang dan tabah. Kalaupun tidak, aku sebagai lelaki harus menyembunyikan itu di depan perempuan yang aku cintai ini. Sebenarnya kata-kata itu lebih layak aku arahkan pada diriku sendiri, karena aku tahu peremuan seperti apa yang duduk di sampingku ini.

Sejak aku mengenalnya pada hari pertama kuliah, aku baru melihat hari-hari ini dia menangis, yaitu saat Rani, teman karibnya, meninggal akibat terseret ombak tatkala kelas kami liburan di pantai selatan. Selain itu, belum pernah aku melihatnya menangis, meski ia terkena sabetan tongkat polisi huru hara saat berdemonstrasi di depan gedung DPR. Oh.. ya, dia meneteskan air mata saat pertama kali aku mengangkat si mungil Najib dan memperlihatkan padanya yang masih tergeletak lemah di salah satu bangsal di rumah sakit. Tapi aku tahu itu adalah air mata bahagia oleh karena melihat buah hati kami. Berbeda dengan saat ini, ketika buah hati kami yang terbaring lemah di ruang ICU.

***

Aku sedang duduk diruang dosen, membaca buku sembari menunggu jam kuliah ke dua. Ku tatap jam dinding yang bergambar logo kampus. Sembilan tiga puluh. Ku coba meyakinkan dengan melihat jam di hand phone ku. Saat itulah aku melihat tujuh panggilan tak terjawab dari nomor yang sama, Muna Sayang. Dia menghubungi saat aku memeberikan kuliah di ruang kelas. Tidak ingin mahasiswaku tergangu, sengaja aku setting HP dalam keadaan silance. Aku coba menghubunginya. Terdengar suara sedikit paruh yang sesekali diiringi sesenggukan di sana. Ku laju sepeda motorku menuju rumah sakit setelah sebelumnya aku membuat kesepakatan untuk mengganti mata kuliahku di hari yang lain.

Dalam perjalan ke rumah sakit, wajah mungil Nadjib selalu terbayang. Ah, berat sekali derita yang mesti ia tanggung. Dia lahir saat kandungan Muna belum genap sembilan bulan. Saat usia kandungannya baru tujuh bulan duapuluh tujuh hari, Muna mengalami tekanan darah tinggi. Suhu badanya memanas selama dua hari. Jika ingin ibu dan bayi yang dikandungnya selamat, dokter menyarankan untuk segera mengeluarkan bayinya, meski belum saatnya. Tentu hanya dengan jalan operasi yang menelan banyak biaya. Anakku lahir, meski aku harus menjual Sebidang kebun warisanku yang ada di Sumatra. Tapi tentu anakku tidak bisa dinilai dengan harag kebun tersebut. Dia adalah kebahagian, dia adalah anugerah yang tak ternilai harganya.

Setelah kelahirnnya, kami harus mondok di rumah sakit selama dua minggu lagi, karena bayi kami harus diopen hingga benar-benar sehat. Ternyata cobaan kami tidak hanya itu. Karena lahir lebih awal, air susu istriku tidak bisa keluar, sehingga buah hati kami tidak bisa mengkonsumsi ASI. Berapapun biayanya, bagi kami tak masalah, asal ia sehat selamat. Dia adalah kebahagian kami, apalagi ia lahir sesaat sebelum wisuda magister ku.

Kini saat dia mulai bisa memanggilku papa, dia harus terbaring lagi di rumah sakit. Dia mengalami gangguan pada fungsi paru-paru. Suhu badannya panas. Aku kira semual hanya demam biasa, sehingga hanya ku bawa kepada bidan. Mungkin itu karena aku kurang memahami bidang kesehatan.

***

Seusai memeriksa perkembangan kesehatan Najib, dokter yang menangani buah hati kami itu mengajakku ke ruangannya. Setibanya di sana, dia menjelaskan bahwa Najib harus segera dioperasi. Terbayang kembali wajah manis itu, wajah yang tampan dan lucu. “Berat sekali jalan yang kau tempu anakku”. Aku menggumam. Tapi aku yakin semua ini pasti akan segera berlalu. Sesampainya dibangsal, aku sampaikan perkataan dokter tadi kepada istriku. Dia menunduk, kembali matanya berkaca-kaca. “ya Allah, berikan kemudahan kepada kami”. Ku dengar lirih doanya.

Beberapa nomer telepon aku hubungi. Demikianpun Muna. kami menghabarkan keadaan ini kepada keluaraga. Memohon doa, sekaligus dana kalau ada. Gajihku sebagai asisten dosen manalah cukup untuk membiaya pengobatann ini, penghasilan istruku sebagai guru juga tidak seberapa, apalagi baru kemarin uang itu kami gunakan untuk membayar rumah kontrakan.

Mas Erwin siap membantu biaya pengobatan, namun baru hari selasa dia bisa transfer. Itu berarti dua hari lagi. Mertuaku alias bapaknya Muna juga akan membantu biaya pengobatan cucunya itu. Mereka mengungkapkan ingin juga ke sini menemani kami, namun aku cegah karena tentu ongkos perjalanan dari kalimantan memakan biaya yang besar, apalagi Ibuku dan Mbah Eva akan datang dari Sumatra. Selain dari bantuan sanak kerabat, kami juga harus merelakan tanah warisan Muna di Kalimantan untuk dipindahtangankan. Keesokan harinya Najib mulai dioperasi.

***
Pagi menjelang. Adzan subuh mengalun merdu dari kejauhan. Udara pagi yang masih steril dari asap kendaraan menelusuk masuk melalui celah pori-pori. Baru saja Mbak Eva menghubungiku. Dia sudah berada di jalur lingkar selatan. Sebentar lagi berarti mereka tiba di terminal. Aku harus menjempunya di sana.

Ku tatap sejenak wajah pangeran kecilku yang masih terlelap tidur. Tadi malam dia terlalu lama menangis karena obat neralisasinya mungkin sudah tidak berfungsi lagi. Ku tinggalkan dia bersama ibunya dan Ibu Jumiati, teman Muna mengajar di sekolahnya. Sejak semalam dia menemani kami begadang menunggui Najib.

Ibu dan Mbak Eva sedang makan di warung soto di pinggir jalan dekat terminal saat aku tiba di sana. Mbak Eva tentu sudah hafal dengan Jogja, karena dia juga pernah kuliah di kota berhati nyaman ini. Akupun ikut makan bersama mereka, karena tentu aku tidak sempat masak.

Setelah makan, rencana merka berdua aku bawa ke rumah terlebih dahulu untuk mandi dan ganti baju, namun keburu Ibu Jumiati menghubungiku. Dimintanya segera aku ke runah sakit. Aku bonceng Ibu, sementara Mbak Eva aku suruh unutk naik ojek. Di perjalanan, tepatnya di perempatan, aku melihat sekilas wajah Naijb di lampu yang menyala merah. Dia tersenyum padaku. Aku gelengkan kepalaku beberapa kali. Mungkin akau terlalu memikirkan dia, atau mungkin juga karena kurang tidur semalam.
Sesampainya di rumah sakit aku terkjut, tiba-tiba Muna menyongsongku dan memelukku dengan tangis sedu sedan. Air matanya membasahi bajuka dan tanganku yang merangkulnya. Hangat.

“Najib mas........... Najib Najib ...... Najib......” ungkapnya terbata-bata.
Aku masih belum memahami apa yang terjadi, bahkan sampai saat Muna terkulai lemas dan hampir jatuh ke lantai jika tidak aku tahan dengan kedua tanganku.
Dibantu oleh Mbak Eva dan beberapa orang yang sedang ada di sana, ku dudukkan Muna di sebuah kursi panjang. Yakin bahwa dia telah dibantu mbak Eva, aku masuk ke bangsal anak. Ku lihat di sana ibu Jumiati sedang menghadap ke sebuah tubuh mungil yang pucat pasi, tak bergerak.

“Najib..............” Aku menjerit sekua tenaga. Cuman dia tertahan di dalam dadaku, sehingga tak seorangpun mendengar. Jeritan itu tertahan oleh setumpuk beban di dalam dada. Setumpuk rasa. Perih, pilu, sedih. Aku mengaduh, mengeluh. Secepat itukah Kamu mengambil kebahagian itu dariku? Aku tahu anak mungil itu adalah anugrah yang Kau titipkan kepadaku, tapi tidak bisakah Kau menahannya lebih lama lagi? Aku tahu itu adalah hakmu, tapi mengapa Kau tak beri kesempatan aku unutk mengemban amanahmu? Atau kesedihan ini juga adalah amanahmu? Mengapa.........??? Mengapa..........?

Terasa beban di dadaku semakin berat, sehingga udarapun tak bisa menyusup masuk. Sesak. Tubuhku pun terasa lemas. Pandanganku terasa silau oleh sinaran cahaya. Ku lihat cahaya itu memancar dari tubuh mungil yang tersenyum manis padaku. Bibirnya nampak mengungkapakan kata “papa”. Namun sekejap pandanganku berubah menjadi hitam pekat. mataku tidak melihat apa-apa. Gelap.