Minggu, 24 Juni 2007

Mata Air Yang Terbakar

Aku masih berdiri di sini, di depan sebuah masjid yang telah lama aku rindukan. Hampir enam tahun berlalu aku meninggalkan kampungku ini untuk merantau, mengais rizki di negeri Jiran. Begitulah tradisi yang berkembang di kampungku saat ini. Setamatanya SMA, merupakan kebanggaan tersendiri bisa merantau ke negeri orang, menjadi TKI. Pulang dengan uang yang melimpah. Membangun rumah gedung, membeli sepeda motor, dan sepetak kebun, setelah itu menikah. Tapi yang terakhir ini aku belum ada rencana, karena Yani kini telah menjadi miliki orang, disambar teman karibku sendiri. Tak sabar dia menanti kedatanganku, takut nanti kalau dibilang perawan tua.


Malam masih belum begitu larut. Baru jam delapan. Namun suasana kampung ini terasa begitu sunyi. Hanya nampak beberapa orang yang berjalan dari arah selatan dan beberapa motor saja yang melintas. Ku alihkan pandangakanku mengikuti jalan yang mengarah ke barat. Sepi. Hanya lampu jalan yang temaram. Sementara di langit, nampak rembulan dengan warna keemasannya tersenyum malu diantara awan tipis yang kadang menutupinya.


Memoriku melesat jauh ke beberapa tahun silam, saat malam terang benderang oleh sinar purnama. Saat-saat seperti itu semua warga kampung laki-laki, perempuan, tua-muda, anak-anak semua usia akan keluar rumah menikmati syahdunya malam. Anak-anak muda akan berkumpul dan bermain gitar, membawakan lagu-lagu Koes Plus atau Obby Messah. Orang-orang tua akan menyanyikan lagu gethuk untuk anak-anaknya yang masih dalam pangkuannnya, agar ia segera bergegas untuk bergabung dengan teman sebayanya, lalu bermain petak umpat, loncat tinggi dan sebagainya.


Aku masih ingat malam itu ketika Toto, temanku, bersembunyi di kandang ayam. Seketika itu juga orang-orang yang sedang berkumpul dikagetkan oleh suara gaduh dari kandang ayam. Berjaga-jaga kalau saja itu adalah pencuri, setiap orang memegang apa saja yang ada di dekatnya lalu mendekati kandang ayam. Namun semua kemudian tertawa ketika Toto keluar dengan rambut dipenuhi dengan bulu ayam dan tangan kotor yang tak lain adalah kotoran ayam. Sejak itu kami dilarang bersembunyi di kandang ayam. Aku rindu saat-saat itu. Kebersamaan yang begitu indah, namun kini telah dipisahkan oleh modernitas. Kini orang akan lebih asyik menikmati tayangan televisi di rumahnya, dari pada harus keluar malam-malam. Siangpun tidak jauh berbeda.


Dulu, selepas sekolah, anak-anak selalu bermain bersama. Bermain kelereng, sepak bola, perang-perangan menirukan adegan film Combat, atau pergi ke mata air untuk mancing dan mandi di sana . Mata air ini terletak di sudut kampung kami. Di sana banyak sumber air yang katanya dihasilkan dari pepohonan yang ada di hutan sebelahnya. Hutan itu masih terjaga. Pohon-pohon besar dan tua masih nampak berdiri rapat. Nampak pula pohon rotan yang bergerombol yang sulit untuk di tembus. Konon kata orang yang pernah masuk, di dalamnya masih banyak binatang-binatang buas. Aku tak tahu pasti, yang sering aku lihat adalah gerombolan kera yang bergelantungan di atas pohon-pohon tinggi itu. Airnya di sana sangat jernih sekali. Jika kita mamandang ke dasar kolam, dimana sering orang mancing sekaligus mandi di sana , kita akan melihat bebatuan yang di dasarnya, juga ikan-ikan yang sedang asyik bermain-main yang memantulkan kemilau cahaya matahari. Namun demikian, ikan-ikan itu akan sulit untuk dipancing. Kata Mbah Wagiman, tetanggaku yang sering mancari ikan malam hari, dia pernah melihat ikan lele sebesar paha orang dewasa, tubuhnya sudah dipenuhi dengan lumut. Namun tetap saja anak-anak tidak takut untuk mandi dan mancing di sana . Mereka yakin, ikan itu keluar pada malam hari saja. Jika sudah sampai di kolam itu, anak-anak akan segera menaruh pancing, menaggalkan baju mereka, lalu melompat dari atas batu yang ada di samping kolam dengan berbagai macam gaya, gaya katak, gaya melayang, lompatan harimau, atau gaya batu. Dan kami baru beranjak pulang jika sudah merasa dingin dan mata memerah. Indahnya masa itu. Kini anak-anak lebih senang mandi di rumah, karena toh sama saja, airnya juga dari mata air tersebut. Mereka lebih suka berada di depan layar kaca berjam-jam, bermain Play Stasion dari pada harus bermain tembak-tembakan dengan amunisi buah cepokak, atau memancing ikan bersama teman-temannya. Ingin sekali aku melihat kembali kolam yang jernih atau mencoba masuk kedalam hijaunya sekelumit hutan itu.


Hari masih pagi. Butiran-butiran embun masih menempel pada ujung-ujung dedaunan. Sementara angin pagi semilir membawa hawa dingin yang membangkitkan bulu kuduk setiap orang. Saat seperti ini, sebagian besar orang di kampungku memilih untuk duduk di depan layar TV sembari menikmati hangatnya kopi Lampung asli. Sesekali ditemani dengan singkong goreng. Di ruang tamu, ku lihat bapak sedang asyik menimang-nimang si kecil Fatim, keponakanku.


Meski masih terasa dingin, aku mamaksa diri keluar rumah. Ku balut tubuhku dengan jaket tebal, melangkah menuju mata air. Di perempatan, ku berpapasan dengan mbah Wagiman.


“Mau ke mana kamu pin? Masih pagi kok sudah jalan-jalan?” sapa mbah Wagiman.

“Jalan-jalan saja kok mbah. Kangen, sudah lama tidak keliling kampung. Mbah sendiri dari mana?”

“Dari kebun pakdemu. Ini ambil daresan.” Ku lihat potongan bambu yang ada di punggungnya. Potongan bambu itu adalah tempat air yang dihasilkan oleh pohon enou atau aren yang kemudian akan dibuat gula merah atau gula aren.


Ku biarkan mbah Wagiman berlalu dariku. Dengan bergegas, ku lanjutkan langkahku. Di depan sudah nampak pucuk-pucuk pepohon yang saya yakin itu adalah dari pohon-pohon yang ada di hutan mata air. Semakin dekat semakin nampak jelas pula pohon-pohon itu. Dan ketika sudah sampai di pematang sawah, terasa ada air yang mengalir di hati ini. Begetu sejuk. Air yang mengalir dari mata air tersebut. Yang telah lama aku rindukan. Hutan itu tak selebat dahulu. Di sana-sini sudah banyak jalan untuk masuk ke dalamnya. Mungkin untuk lewat para pemburu atau pencari kayu. Aku tak melihat pohon-pohon cempaka yang pernah aku tanam bersama teman-teman kesebelasan sepak bola yunior. Atau pohon-pohon alkasih yang di tanam oleh anak-anak Pramuka SMP 5 ketika mereka mengadakan Persami. Aku juga tidak melihat gerombolan rotan seperti dulu. Yang ada hanyalah rumpun bambu yang tinggal empat lima batang. Di atas pepohonan itu, kulihat seekor elang terbang berputar-putar dengan sayapnya yang berwarna hitam. Sementara jauh di sana , kulihat gunung bukit barisan yang masih diselimuti kabut putih.


“Mungkin kita perlu untuk mengganti sebagian paralon dengan yang baru, agar air bisa mengalir lebih baik.” Usul Kirman pada suatu rapat RT untuk membahas saluaran air yang kami alirkan ke setiap rumah. Tentu dari mata air yang ada diujung kampung ini.


“Saya kira, untuk penggantian paralon itu tidak terlalu penting, karena kita ketahui bersama, volume air yang keluar dari paralon itu ke tempat penampungan masih cukup besar. Yang menjadi permasalahan adalah semakin banyaknya warga kita yang mengambil air dari tempat penampungan kita.”


Ketua RT menanggapi usul dari pak Kirman. Di lingkungan kami, pak Kirman termasuk kedalam orang yang cepat mutung, apa lagi kalau pendapatnya tidak diterima atau setujui. Seperti malam itu, wajahnya pun langsung terlihat cemberut.


“Lalu usul Pak RT senidri bagaimana terkait masalah ini?” tanya kang Wakidi yang duduk samping kiriku. Dia sendiri sebenarnya baru beberapa bulan ini menggunakan air dari mata air untuk kebutuhan rumah tangga. Semula dia tetap menggunakn air sumur. Waktu diajak untuk mendirikan penampungan oleh tetangganya, dia selalu mengatakan bahwa air sumur lebih baik. Namun akhirnya dia bergabung juga. Capek kalau harus menimba terus, katanya.


“Usul saya, yang pertama, kita harus memperluas atau menambah tempat penampunagn di samping tempat penampungan utama. Yang kedua, kita giatkan kembali giliran untuk kerja bakti mengontrol saluran air kita setiap dua minggu sekali.”


Rapatpun berjalan seiring merambatnya malam yang kian larut dengan kesepakatan untuk mendirikan penampungan pembatu di samping tempat penampungan utama, serta menetapkan giliran kerja bakti, ditambah iuran per bulan sebesar sepuluh ribu per konsumen atau kepala keluarga.


“Emm.. Maaf, boleh saya menyampaikan sesuatu.” Ku beranikan diri untuk mengangkat telunjukku. Setelah ketua RT mepersilahkan, aku mulai angkat bicara.

“Sebelumnya saya minta, di sini saya mewakili bapak, beliau masuk angin, sehingga tidak bisa hadir dan hanya titip salam buat bapak-bapak sekalian.” Ku awali pembicaraan dengan sedikit basa-basi. “Dari tadi sepertinya kita hanya membicarakan hal-hal yang parsial, tidak komhensif………”

“Maksud nak Aripin apa, bapak kok tidak paham?”

Pertanyaan Pak RT yang memotong pembicaraanku menginsyafkan aku. Segera aku koreksi kata-kataku.


“Maaf, bapak-bapak sekalian. Maksud saya seperti ini. Selama ini kita hanya membicarakan tentang bagaimana mengalirkan air ke rumah atau ke sawah kita, tetapi kita tidak memikirkan sumber air itu sendiri. kemarin lusa saya sempat melihat dari dekat hutan kita itu. Yah kita tahu, hutan tersebut tidak terlalu luas, namun demikian, mata air yang ada tidak bisa terlepas dari keberadaan hutan tersebut. Saya lihat, hutan kita kini sudah mulai ompong. Banyak pohon yang mati, baik mati dengan sendirinya ataupun ditebang oleh orang …………..”


“Kemarin memang kita telah menebang satu pohon, tapi itukan atas persetujuan bersama untuk pembuatan balai desa”. ku perhatikan perkataan Pak Kirman, walau agak mangkel, karena memotong pembicaranku.


“Masalah itu saya tidak tahu menahu, apa lagi sudah menjadi kesepakatan bersama. Namun yang ingin saya tekankan di sini adalah, bagaimana kalau kita mencoba untuk memperbaiki hutan itu kembali. Menanaminya kembali. Tidak apa kita menebangnya, yang penting sudah ada penggantinya. Jadi seimbang gitu lho bapak-bapak sekalian” Ku perhatikan peserta musyawarah yang sekitar dua puluh lima orang itu mengangguk-anggukkan kepala. Di hatiku tersirat kebanggaan sekaligus kepuasan, mudah-mudahan bukan kesombongan.


Ketika jam menunjukan setengah satu dini hari, baru rapat usai dengan tiga agenda di atas di tambah dengan kerja bakti penanaman pohon untuk penghijauan kembali hutan di ujung kampung itu. Namun yang terakhir akan dibicarakan terlebih dahulu di tingkatan RT kampung ini.



Selang waktu beberapa bulan, berbagai jenis pohon telah ditanam, baik di tengah-tengah, maupun di bagian pinggirnya. Jati, alkasiah, Cempaka, Podang, bambu dan masih banyak jenis pohon yang aku tak tahu namanya. Konon katanya sumbangan dari dinas pertanian. Bertambah hari, hutan itu kembali menghijau walaupun belum seperti sedia kala. Sementara di sekeliling hutan yang hanya secuil itu, dipagari oleh kawat sebagai batas dengan areal persawahan warga. Namun hal yang tidak pernah kami bayangkan terjadi.


Setiap malam jumat, seperti biasa, warga kampungku mengadakan pengajian bergiliran di setiap rumah. Setiap rumah mendapat giliran. Begitu juga para pemudanya. Setelah selesai pengajian, biasanya meraka tidak langsung pulang, tetapi berbincang-bincang ke sana-kemari, ini-itu. Bahkan, yang saya sesalkan, tidak jarang setelah pengajian itu mereka menggosip atau menggunjingkan orang lain. Mungkin mereka sudah lupa apa yang baru dikaji.


Hari semakin malam. Saat sedang asyik ngobrol ke sana-kemari, warga dikejutkan oleh suara teriakan-teriakan, yang semakin lama semakin jelas. Seluruh warga keluar rumah. Suasana kampung menjadi riuh.





“Kebakaran…. Kebakaran ……… Kebakaran ……….” Semua meneriakan kata yang sama. Entah apa yang terbakar. Namun semua kemudian berlarian ke satu arah, ke ujung barat kampung. Dari jauh nampak langit di sana berwarna merah. Akupun berlari bersama warga kampung ke arah yang sama, melihat apa sebenarnya yang terbakar, membantu bila mungkin.

“Mata air terbakar………..” jawab Ratno yang berlari di sampingku dengan nafasnya yang senin-kamis.


Sesampainya di ujung kampung aku mendapatkan ratusan orang sudah berdiri di sana , termangu menatap kobaran api yang membumbung tinggi dan berkibar-kibar tertiup angin. Api sudah terlalu besar dan luas untuk dipadamkan. Tak banyak yang bisa dilakukan, kecuali hanya memandanginya. Beberapa orang anak kecil terlihat senang melihat kobaran api yang besar itu, namun wajah bapak-bapak mereka, ibu-ibu mereka, paman-paman mereka, dan hampir seluruh wajah warga kampungku terlihat lesu, murung, sedih. Tak terasa air hangat mengalir di pipiku. Kakikupun menjadi lemas tak bertenaga. Aku terjongkok menyaksikan kobaran api yang membakar hutan kami. Hutan yang mulai menghijau kini berubah menjadi merah lautan api.


Beberapa bulan berlalu dari peristiwa terbakarnya hutan di ujung kampung itu. Setiap orang membawa pertanyaan di diri masing-masing, siapa yang membakar hutan mata air itu? Namun tak satu pun jawaban yang bisa memuaskan dan diterima semua orang. Ada yang mengatakan, jin penunggu hutan marah, dan lalu membakar hutan. Yang lain mengatakan, ada sekelompok orang yang iri dengan majunya pertanian kampung kami yang tak pernah kering. Ada pula yang mengatakan, hutan mata air itu dibakar oleh orang dalam yang kalah dalam pemilihan kepala desa. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa kebakaran hutan itu disebabkan oleh mbah Wagiman. Ketika mbah Wagiman memancing ikan di mata air, dia membuang puntung rokok sembarangan. Karena musim kemarau, banyak daun kering yang berguguran, dan puntung rokok itu membakar daun-daun kering itu yang kemudian merambah menjadi besar. Tak satu orang pun tahu mana yang benar. Dan peristiwa itupun selalu hangat menjadi pembicaraan setiap orang, bahkan media massa sempat juga meliput peristiwa itu.


Karang Kajen, 01 November 2006


M. Habibi, Sekretaris Umum Korkom UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta