Minggu, 12 Agustus 2007

Mikraj

Salim berjalan menyusuri gang-gang sempit yang hanya diterangi lampu lima watt, menuju rumahnya yang terletak di bantaran sungai. Lumayan jauh, namun Salim selalu menyempatkan diri untuk pergi ke masjid pada saat-saat shalat wajib. Kebiasaan ini telah lama ia lakoni, sejak kedatangannya ke kota ini lima tahun yang lalu. Keberhasilan teman-teman sekampungnya yang mengadu nasib di ibu kota membuatnya tergiur dan kemudian membawanya keluar kampung untuk pertama kalinya bersama teman-temannya yang telah bertahun-tahun merantau dan selalu pulang dengan membawa uang yang banyak dan oleh-oleh untuk keluarga. Nail, anaknya selalu mendapat hadiah satu stel pakaian dari Bambang, Pamannya, setiap hari raya Idul Fitri. Sementara Salim sendiri tidak bisa memberi apa-apa pada sanak saudara dan keponakan-keponakannya, paling-paling dia hanya memberikan satu setel pada Ningsih, istrinya, dan satu setel untuk Nail. Dia sendiri hanya mengenakan pakain-pakain yang dibelinya menjelang lebaran tiga tahun yang lalu. Itulah yang membuatnya iri bila melihat teman-teman sepermainannya dulu pulang dari Jakarta.
“Kamu tega meninggalkan anak istrimu di kampung?”, Tanya emak-nya ketika dia mencoba berkonsultasi dengannya pada suatu malam selepas shalat Isa’.
“Yah, emak kan tahu, lahan garapan saya di kampung tinggal sedikit”, jelas Salim. Beberapa petak sawahnya memang telah dia jual untuk biaya pengobatan Nail saat dia harus menginap di rumah sakit selama satu minggu akibat serangan malaria.
“Kamu kan bisa cari garapan di tempat saudara-saudaramu, pasti mereka juga akan memberi garapan, kalau memang ada”.
“Tapi mak, aku malu harus bergantung terus dengan mereka”. Bantahku.
“Kalau itu memang sudah menjadi tekadmu, ya terserah kamu, yang jelas kamu bicarakan hal ini terlebih dahulu dengan istrimu, karena dia mempunyai hak atas kamu, dan kamu punya tanggung jawab atas dia dan anak kalian,” kata emak. “terus kapan kamu berangkat?”. Tanya emak.
“Besok mak, bareng mas Bambang,” terangku. Emak nampak terperanjat mendengar jawaban salim.
“Lho kamu ke sini cuman pamit, tidak minta pertimbangan ama mak!” masih dalam rasa keterkejutan emak masuk ke kamarnya dan tidak lama kemudian keluar kembali dan menyerahkan beberapa lembar uang kepadanya.
“Jangan kau tinggal shalat, di manapun kamu berada. Cuman itu pesan emak”.
Salim selalu ingat pesan emak-nya, dan itulah pesan terakhir orang yang paling mengasihinya itu. Enam bulan setelah kepergiannya dari kampung halaman, Salim menerima berita tentang kepergian emak, menyusul bapaknya yang meninggal tiga tahun sebelumnya. Salim menyesal karena tidak menunggui di sampingnya. Hingga kini ia masih tekun melaksanakan shalat lima waktu.
***
Siang itu nampak gerakan tangan Salim tiada bertenaga, sehingga daun-daun kering yang berserakan di pinggir jalan raya itu kerap tidak terhempas oleh ayunan sapunya. Teman-teman seprofesinya heran melihat kelakuan Salim yang ganjil seperti itu. Sudah bertahun-tahun mereka bekerja dengan Salim di dinas kebersihan kota, mereka selalu meliahat laki-laki itu bekerja dengan semangat dan muka yang sumringah, namun kali ini wajah Salim nampak murung laksana langit yang tertutup mendung.
“Aku ingin mikraj, Gi.” Jawabnya ketika ditanya mengapa? Sontak jawabannya mengagetkan Gianto dan rekan-rekannya yang kemudian menghentikan ayunan sapunya. Jelas sekali keheranan nampak pada wajah-wajah mereka, kecuali Warijan. “Mimpi apa aku semalam Lim-lim, kok jadi ngelantur gitu” katanya sembari tetap menyapu daun-daun kering yang berserakan, sesekali berjingkrak meloncat ke pinggir, menghindari mobil mewah yang hendak menyerempetnya.
“Apa kalian tidak dengar kata khatib jumat tadi?” Tanya salim kepada kawan-kawannya. “Apa kamu tidak dengar Jum?” Jumat, laki-laki bertubuh kecil dan berkulit hitam yang disebut namanya itu menoleh ke arah Salim tanpa mengentikan tangannya.
“Wah, aku tadi ketiduran, Lim. Maklumlah, capek.” Kilahany, “Emang ustadznya bilang apa?”
“Dia bilang, yang tidur waktu shalat jumat dia akan kesasar ke tika hendak masuk surga” gurau Salim. “nama kamu aja yang Jumat, tapi prilakkumu itu lho, tidak mencerminkan namamu.”

Sesampai di rumah, salim melepas seragam orange-nya, menuju kamar mandi dan bergegas ke masjid untuk shalat magrib. Sepulangnya dari masjid, ia duduk di ruang rumah, merenung. Isi khutbah tadi siang masih melekat erat dalam ingatannya. Bulan ini adalah bulan rajab, kata khataib tadi. Pada bulan inilah Nabi Muhammad menerima perintah shalat lima waktu dengan cara mikraj, bertemu langsung dengan Allah. Pantas saja kalau emak-nya selalu mewanti-wanti dia untuk melaksanakan shalat fardhu itu, karena memang perintahnya sangat istimewa. Itulah yang menjadikannya berkeinginan untuk mikraj, sehingga ia merasa bahwa perintah shalat itu memang diturukan untuknya.
Dan malam ini adalah tepat malam bersejarah itu, 27 rajab, di mana manusia agung itu menjelajah dunia dan mengarungi tujuh langit dalam waktu satu malam. Salim masih ingat ketika dia masih mengaji di surau, guru ngajinya menceritakan bahwa buroq, kendaraan yang dinaiki nabi saat Isra’ mi’raj adalah laksna kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda yang berkepala seorang wanita. Ah, jelek sekali kalau seperti itu. Salim baru tahu kalau itu sebenarnya adalah penghinaan pada Nabi Muhammad yang dianggap hiperseks. Salim ingin tertawa sendiri bila mengingat masa kanak-kanaknya itu. Namun kemudian ia merenung kembali, bisakah ia mikraj? Atau memang benar kata Warijan tadi siang, dia sudah tidak waras lagi?
Malam semakin larut, suara aliran sungai di samping rumahnya terdengar jelas sekali, memberikan kesejukan di hati Salim dan siapa saja yang mendengarnya, meskipun airnya yang hitam pekat itu menebarkan aroma busuk limbah pabrik dan rumah tangga. Bagi yang belum terbiasa pasti akan merasa mual-mual, tapi inilah tempat kontrakan termurah. Sementara di dapur terdengar cicit tikus yang sedang bermain kejar-kejaran. Namun seketika aroma busuk itu berganti harum wewangian saat sesosok tubuh berbalut pakain serba putih tiba-tiba hadir di depannya. Salim tidak tahu masuk dari mana orang tersebut. Lebih kaget lagi ketika orang tersebut merangkul tubuh kurusnya dan menuntunnya keluar ruangan. Ternyata orang tersebut lebih tinggi beberapa centimeter dari tubuh Salim yang bak tiang listrik, kurus dan tinggi.
“Mau kau bawa kemana aku? Dan siapa kami ini, masuk rumah orang tanpa permsi?” Salim meronta, namun tangan yang biasanya ia gunakan untuk menyapu membersihkan jalan itu tak bisa melawan genggaman orang asing tersebut.
“Bukannya kamu ingin mi’raj?” tanyanya dalam dialek yang sedikit asing dan tidak dimengerti oleh Salim.
“Sebenarnya kamu ini siapa? Dan mau dibawa ke mana aku ini?” salim mengulang pertanyaannya.
“Aku akan membawamu mikraj. Sudah aku siapkan kendaraan untukmu” jawab orang itu.
Benar apa yang dikatakannya. Salim terbelalak melihat kereta dengan dua ekor kuda berkepala seorang wanita telah siap di teras rumahnya. Mirip seperti yang digambarkan guru ngajinya di surau dulu. Ternyata di kereta telah menunggu seorang lagi. Orang asing itu naik terlebih dahulu dan diikuti Salim. Dengan hati berdesar, diletakannya pantatnya di kusri kereta yang sangat empuk. Kereta terbang. Salim terharu. Dia tidak bisa berkata-kata. Hening. Dalam kebisuan matanya mengawasi bumi dari angkas. Biru, karena bumi didominasi lautan. Salim menciut. Ternyata ia terlalu terlalu kecil di banding alam ini, bukti kemahabesaran Allah.
“Kalaulah boleh tahu, siapa gerangan anda berdua ini?” Tanya salim kepada kedua orang yang duduk mengapitnya.
“Saya Jibril, dan sebelah kiri kamu adalah Izrail.” Jawabnya singkat. Salim tertegun. Bukankah yang menemani Nabi Muhammad Isra’ mi’raj adalah Mikail, bukan Izrail. Tapi apa pedulinya, yang penting baginya adalah bertemu Tuhan di Sidratul Muntaha.
Dalam waktu sekejab, mereka telah tiba di langit pertama. Mereka disambutoleh Nabi Adam AS. Bapak manusia. Nampak juga di sampingnya Sayyidah Hawa dan Idris AS. Berbincang sejenak, mereka kemudian melanjutkan perjalannya ke langit ke dua. Di sini dia disambut oleh Nuh dan beberapa nabi yang sedikit asing bagi salim. Mungkin mereka tidak termasuk dalam bilangan 25 nabi dan rasul.
Begitulah prejalanan salim dari satu langit ke langit lainnya, dia selalu ditemui para nabi, sejak nabi Adam Idris, Nuh, Hud, Yusuf, Ibrahim hingga kemudian di langit berikutnya ia bertemu dengan nabi Musa. Salim bisa mengenalinya dari cara bicara dia yang cedal.
“Kamu ini siapa kok mau bertemu Tuhan?” gertak Nabi Musa. Salim mengkerut ketakutan, tapi tetap mencoba menguasai diri.
Sedkit gemetar Salim menjawab. “Saya hamba-Nya. Apakah salah kalau seorang hamba ingin bertemu dengan tuannya?” memang benar yang diceritakan guru ngajinya, Nabi Musa adalh orang yang keras. “bukankah ketika Nabi Muhammad mi’raj juga sebagai hamba?” lanjutnya.
“Apakah kamu tidak pernah baca Al-Quran, kitab sucimu itu? Apakah kamu tidak pernah dengar cerita ketika aku dan umatku, Bani Isra’il ingin melihat Tuhan di bukit sin dan kami tersungkur karena tidak kuat menatap cahaya-Nya?”
“Bukankah Nabi Muhammad bisa? Dan aku adalah umat Muhammad” bantah Salim, “sebagai hamba, bukankah aku sama dengan Muhammad?” rasa takutnya sudah hilang ditimpali kekecewaannya pada Nabi Musa yang mengahalinginya untuk bertemu Tuhannya.
“Muhammad adalah manusia suci. Nur Muhammad menerangi alam semesta. Wajar jika ia bertemu dan bermesra dengan kekasihnya”.
“Wahai Nabi Allah Musa, mengapa engkau menghalangi aku untuk bertemu Tuhanku?” Salim mulai memelas.
“Jauh sekali kamu mencari Tuhanmu. Bukankah Dia mewujud dalam setiap ciptaanya. Bukankah Dia pernah berkata bahwa Dia lebih dekat padamu daripada urat nadimu sendiri. Tidak ingatkah kamu tatkala Dia berkata: Wahai hambaku! Aku sakit, mengapa tidak engkau jenguk? Aku miskin, mengapa tidak enkau santuni Aku?”
“Aku hanya ingin bermi’raj sebegaimana Muhammad diperjalankan malam hari, bertemu dengan Tuhan dan mendapat perintah shalat. Demi Allah itu saja.” Jelasnya.
“Allah. Bukankah bangsamu sering membawa-bawa nama Allah untuk kepentingannya sendiri. Mengagung-agungkan Muhammad namun tidak pernah mengikuti sunnahnya, tidak pernah menggunakan metodologi dia dalam berdakwah. Dan kamu berbicara tentang perintah shalat sementara ketika kamu pergi ke sini belum melaksnakan shalat isa.”
Salim teringat akan kisah Nabi Musa yang ia baca dari komik kisah para nabi. Musa adalah nab yang keras hukumannya. Jika bajunya terkena najis, maka bukannya di cuci tetapi malah disobek. Mungkin sekarang Musa akan menghukumnya dengan cara demikian.
“Malaikat, usir dia dari tempatku.” Belum rampung Salim memikirkannya, hal itu kini telah terjadi. Dua malaikat dengan wajah seram mendatangi Salim, menyeret dan kemudian melemparkan tubuhnya yang terasa mungil di banding mereka. Salim berteriak menghiba, mengaharap kedatangan Jibril dan Izrail datang dengan buraqnya. Nihil. Salim melayang-layang di ruang hampa. Sekejab mata di melihat benda berkelebat di depannya. Yah dia adalah Izrail dengan buraqnya. Tetapi siapa yang bersamanya? Wajah itu tersenyum pada Salim, seakan dia mengenal Salim. Demikian juga Salim. Wajah itu sangat akrab dengan dia. Tapi siapa? Sembari melayang-layang Salim mengingat-ingat wajah itu.
“Bukankah itu Nail an…….?” Belum selesai Salim bicara dengan dirinya sendiri, tubuhnya telah membentur benda keras. Jatuh ke bumi. Remuk. Namun tak lama dia merasa ada sentuhan hangat dipundaknya. Dibukanya kedua matanya yang masih terasa perih. Dalam remang cahaya ia meliaht laki-laki kekar duduk di depannya, berselang meja kayu yang dibungkus kain penutup warna biru.
“Lim, emak minta kamu pulang ke kampong malam ini, bareng aku.” Salim menatap wajah orang itu. Sedikit demi sedikit kian jelas. Mas Bambang, saudara sekampung yang membawanya ke Jakarta. Ditatapnya jam baker yang diletakkan di dekat jendela. Jam 23.15. dia belum shalat Isa. Sejek habis magrib tadi dia duduk termenung di kontrakannya lalu tertidur, hingga tidak menyadari kedatangan Mas Bambang.
***
Salim menangis sesenggukkan, tersedu sedan. Matanya menatap wajah pucat pasi yang terbujur dihadapannya. Diam mimbisu, tidak mau diajak bicara. Namun Salim melihat bibir perempuan mungil itu mengulum senyum manis, senyum keihklasan. Nail meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Penyakit malarianya mendadak kambuh. Dia meninggal dengan tersenyum manis seperti yang Salim lihat dalam mimpinya, ketka Nail membumbung ke angkasa denagan menaiki buraq. Nail mi’raj, menjumpai kekasihnya.

Rabu, 01 Agustus 2007

Goresan Namamu

Malam belum begitu larut, namun demikian tidak seperti biasanya, suasana kontrakanku malam itu terasa sepi. Hanya detak jarum jam dan suara binatang malam yang terdengar. Angin malam yang masuk melalu celah jendela yang sengaja aku buka, membawa dinginnya hawa malam yang bercampur dengan bau tanah yang basah oleh guyuran hujan setengah jam yang lalu. Sebenarnya aku telah berjanii dengan salah seorang rekan kerjaku untuk belanja bersama selepas magrib, namun Tuhan berkehendak lain, derasnya air hujan memaksaku untuk mengurung diri di kamar.
“Aku butuh dut Fi”, katamu memecah kebisuan di antara kita. Ku henti kansejenak pekerjaanku dan ku alihkan perhatianku kearahmu. Terlihat kemilau cahaya lampu memantul dari rambut yang masih basah. Di luar memang masih gerimis, namun kamu nekad datang ke sini. Pasti ada keperluan mendesak.
“Aku bututh banget fi, duitku tinggal tujuh ribu limaratus rupiah. Kirimanku belum datang.” Kamu mencoba menjelaskan.
“Bukannya kamu sudah menulis banyak artikel di media massa? Terakhir hari rabu kemarin aku baca artikelmu di Koran lokal. Kemana uangnya?” kataku kembari mengambil handuk dan memeberikannya kepadamu untuk mengeringkan rambutmu. Lama aku menunggu, namun kamu hanya membisu, tak sepatah kata pun yang terucp dari bibirmu, sebagai jawaban pertanyaanku. Mungkin aku yang salah jika harus bertanya seperti itu, karena kamu sekarang tetap kamu yang dulu, yang pertama aku kenal di sebuah acara seminar di sebuah PTN yang kamu dan kawan-kawanmu selenggarakan.
Sejak perkenalan pertama itu kita sering bertemu dalam forum-forum diskusi dan seminar ataupun acara-acara ilmiah lainnya yang diadakan di kota pelajar ini. Aku melihatmu selalu aktif dalam forum-forum tersebut. Pertanyaan dan sanggahan selalu meluncur dengan lancara laksana aliran air yang tak terputus. Ternyata tidak hanya dalam forum, pemikiranmu yang liberal, radikal dan kritis terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan agama selalu tersusun rapi dalam untaian kata yang tertuang dalam beberapa majalah dan surat kabar, baik dalam bentuk cerpen, artikela, essay maupun puisi. Tak nampak sedikitpun goresan keraguan. Kau lontarkan gagasanmu, mengkritik para birokrat, pilitisi, bahkan agamawan. Dari masalah lingkungan, illegal logging, terorisme, KKN dan masalah-masalah sosial lainnya. Semakin hari semakin banyak tulisan mu menghiasai majalah dan surat kaba-surat kabar terbet. Itulah yang membuat namamu kian dikagumi oleh public, termasuk aku sendiri.
Pernah aku melihatmu pada suatu siang, ketika kamu sedng melakukan aksi turun jalan bersama teman-temanmu di sebuah kantor pemerintahan. Sebelumnya aku telah mengira, melihat penampilanmu, caramu berbicara, caramu berpakaian yang terkesan apa adanya dan rambutmu yang tak pernah rapi serta tas lusuh yang selalu kamu tenteng ke mana-mana, kamu adalah aktivis pergerkan yangsering disebut oleh orang-oarangsebgai gerakan kiri. Aku sendiri tidak tahu apa itu gerakan kiri atau kanan, Karena memang aku bukan aktivis. Aku termasuk kebanyakan mahasiswa yang kamu kategorikan sebagai manifest mahasiswa segi tiga, kos, kampus dan warung makan. Dan aku tak pernah menyangkal itu. Begitu juga ketika kamu datang ke kosku, mengajak aku berdiskusi.
“Kita ini mahasiswa, harapan rakyat. Sebagai kelas menengah, mahasiswa adalah agent of change bagi bangsa ini. Apa jadinya kalau mahasiswa sudah tidak peduli dengan masalah yang dihadapi oleh bangsanya? KKN, penggusuran,kemiskinan dan seabrek masalah sosial lainnya. Mana kepedulianmu?.” Aku hanya diam, mendengarkan dengan khidmat tanpa sepatah kata erucap. “kau masih ingat “sahadat pembebasan” dan lagu Darah Juang yang pernah kita nyanyikan saat OSPEK dulu?”. Ku biarkan kamu meluapkan isi hati dan pikiranmu, dan aku hanya bisa menjawab bahwa aku tidak ingin studiku terganggu sehingga menghabiskan banyak biaya, kaerna pendidikan mahal saat ini menjadi rahasia umum.” Justru itu kita harus bertindak dan menuntut pendidikan murah”.
Bukankah sejak dulu pemerintah telah mencanangkan pendidikan murah untuk semua lapisan masyarakat? Tapi mana buktinya? Kian hari kian mahal aja pendidikan kita”. Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa aku sadari sejak kapan aku meniru gaya diplomatismu itu, “otonomi kampus yang menyebabkan komersialisasi pendidikan menjadikan biaya pendidikan selangit, dan aku beruntung masih bisa kuliah, makanya aku tidak ingin kuliahku terbengkalai dan menghamburkan biaya sia-sia karena aku harus ikut demo kayak kamu”
“Yah kamu untung kamu bisa kuliah, karena kamu anak orang kaya, tapi bagaimana dengan merka, anak orang-orang miskin yang makan sehri aja susah? Jerih payah mereka tidak cukup untu menghidupi keluarganya, bahkan sebagian mereka terancam digusur. Bagaimana mereka bisa sekolah?”
“Salah sendiri mereka miskin. Mereka miskin itu karena mereka pemalas, cuman ongkang-ongkang, gak mau kerja. Aku bisa sekolah kayak gini karena orang tuaku mau banting tulang, peras keringat untuk mencari uang”. Begitulah cerita orang tuaku.
“Realistislah, mana ada orang yang miskin? Mustahil kalau ada. Mereka miskin karena ketidakadilan dan kezhaliman para pengusa, kesewenang-wenagna mereka yang hanya mementingkan perut mreka sendiri”. Kalimat menggebu-gebu laksana seorang pengacara pembela kasus di suatu peradilan, “mereka membagi-bagikan uang negara untuk keluarga, teman dan golongannya saja, tanpa pernah melihat penderitaan rayat.
Aku tak tahu berapa lama lagi percakapan itu berlangsung, yang jelas aku sudah tidak bisa memahami pembicaraanmu yang semakin membumbung ke atas awan.
Siang itu, aku tidak tahu entah keberapa kalinya, aku melihatmu aski bersama teman-temanmu seperti hari-hari sebelumnya. Idealismemu kau tampakan pada saat itu. Gagasan dan kritikmu meluncur dari sela-sel kedua bibirmu dengan suara yang lantang dan penuh keberanian dn didorong semangat yang membara dalam dirimu. Engkau laksana Bung Karno yang mampu berorasi berjam-jam degnan semangat yang berapi-api, atau Bung Tomo yang mampu mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo dalam peristiwa 10 November. Dan itulah akhir kalinya aku melihatmu di kota pelajar itu. Sampai kini aku masih tetap membaca tulisa-tulisanmu di media masa, meski aku sudah indah kota dan berkeluarga.
***
Ku dorong sepeda motorku memasuki perkarangan rumah. Aku lupa mengisi minyak ketika aku melewati pom bensin sekeluarnya aku dari tempat kerja, akibatnya motorku kehabisan bensin. Untung sudah di depan rumah, jadi aku tidak terlalu suah. Tapi tetap saja hati ini dongkol karena kelalaianku. Namun semua itu hilang terhapus oleh senyum manis Raflisiati, istriku, yang menyambutku di depan pintu.
Kuterima bingkisan yang ia sodorkan kepadaku. “Tadi, sekitr setengah satu ia ke sini”. Jelas istriku, sembari melangkah ke dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan segelas air putih di tangannya. “Dia cuman bilang terimakasih ama mas sekaligus minta maaf dan menyesal karena tidak bisa bertemu dengan mas. Dia masih banyak urusan.” Lanjutnya.
Kuamati bingisan itu, di salah satu bagain bingiksan itu terdapat namaku “Dear Sahabatku Afifi”. Beberpa jumlah uang dan sepucuk surat. Mungkin uang yang kamu pinjma dulu. Tetapi jumlah itu lebih dari yang kamu pinjam. Dalam suratmu, kamu mengatakan bahwa kelebihan uangggg itu sebgai ucpan terimakasimu, kamu juga bercerita kalau kamu kini bekerja pada salah satu departemen kementrian. Aku tidak heran, karena eku sering dengar itu dari media masa. Kamu pun minta doa agar kamutetap dalam cita-cita idealismemu. Wajar kamu jarang menulis lagi di media masa.
***
Pagi itu adalah hari pertamaku menghirup udara pagi di kota ini, setelah tiga bulan lamanya aku di Tokyo. Sebenarnya badan ini masih terasa lelah, namun perusahan tempat aku bekerja memintaku untuk segera menyampaikan hasil penelitian sekaligus pertemuan dengan beberapa rrelasi perusahan di Tokyo.
Kuhangatkan perutku pagi itu dengan beberapa teguk kopi lampung buatan istriku. Namun belum juga habis secangkir kopi itu, buru-buru aku melangkah menuju garasi setelah aku menyadari bahwa hari sudah mulai siang. Ketiga anak-anakku pun aku suruh bergegas agar mereka tidak terlambat masuk sekolah.
“Subhanallah”, jeritku. Aku biarkan keterkejutan ketiga anakku. Aku langsung turun dari mobil dan bergegas masuk rumah. Aku lupa membawa laporannya. Semalam laptop sengaja aku simpan agar tidak buat mainan anak-anakku. Saat aku masuk rumah, kulihat istriku menuruni tangga dan membawkan laptop itu. Langsung aku menyahutnya. “Terimakasih mama”. Kataku manja. Aku segera kembali keluar, dan berhenti sejenak melihat Koran langgananku di teras. Entah apa yang membuatku tertarik untuk membacanya, meskipi aku sadar waktu berlalu dan tidak pernah berhenti. “Cukup headline-nya saja” pikirku.
Kudapati lagi namumu tertulis di lembaran surat kabar itu. Bahak kali ini dengan cetak tebal. Namamu juga menghiasi lembaran-lembaran yang lainnya, termasuk juga opini. Namun aku yakin itu bukan tulisan mu, karena meskipun tulisan tersebut lugas, namun tidak setajam analisimu. Dan yang lebih meyakinkan aku lagi adalah judul artikel tersebut “Menyoal kasus Korupsi Zulfa Munawar”. Ku lemparkan surat kabar tersebut ke sudut teras rumahku dan segera ku laju mobilku merayapi jalan-jalan yang tidak pernah sepi dari kemacetan.