Sabtu, 12 Januari 2008

Astuti

Dalam remang cahaya lampu lima watt, kedua mata Liana memandang langit-langit kamar yang dicat dengan warna pink, warna yang mendominasi barang-barang yang ia miliki, dari pakaian, sepatu, hand phone dan aksesorisnya, buku harian dan benda-benda lainnya. Tidak ketinggalan warna cat rumahnya. Pikirnya melayang entah ke mana. Tatapannya kosong. Hanya desah nafasnya yang menunjukan dia masih hidup dan terjaga.

“Sudah, tidurlah dulu. Besok kita bicarakan lagi” kata Arul, memecahkan kebekuan. “besokkan kamu harus bangun pagi, berangkat kerja”, lanjutnya. Arul kembali berbaring di samping istrinya, menarik selimutnya ke atas menutupi tubuhnya hingga leher. Dibalikannya wajahnya mengahadap ke arah Liana, istrinya. Ditatapnya wajah wanita yang bebaring di sampingnya itu. Diperhatikannya lesung pipit yang mengembang dan mengempis di pipinya. Lesung pipit itu lah yang dua tahun lalu membuatnya susah tidur sejak pertema berkenalan dengan sang empunya di perpustakaan daerah. Di sentuhnya pipi istrinya.

“Kenapa menangis”
“Saya kasihan pada Tuti mas. Dia masih terlalu muda untuk menanggung beban hidup ini” jawab Liana dalam sedikit sedan.
“Yah, itukan resiko dari sebuah pernikahan. Ketika kita sudah menikah, berarti kita juga harus siap menanggung resikonya.” Arul menyeka air mata istrinya. “kita berdoa saja, semoga Tuti cepat sembuh.”

Malam terus merambat, membawa mimpi-mimpi anak Adam, membawa jiwa-jiwa resah hanyut dalam lelap tidur. Namun Liana masih tetap terjaga. Lamunannya membawa ia pada peristiwa paling bersejarah dalam hidupnya ketika ketulusan membungkus ikrar pada akad nikah dirinya dengan lelaki yang kini berbaring di sampingnya. Saat itu pula pertama kali dia mengenal Tuti yang kini menjadi adik iparnya.
“Teh, Tuti enam bulan lagi kayak tetah. Teteh harus datang lho.” Dengan gembira Pipit mengabarkan hari pernikahannya. Tuti adalah saudara semata wayang Arul. Keduanya ditinggal abah mereka saat Tuti baru berusia dua tahun. Saat itu Arul kelas lima sekolah dasar.

“Emang sudah siap kamu?” Tanya Liana. “dapat orang mana kamu Tut?” lanjutnya.
“Masak kalau belum siap Tuti mau teh. Ya jelas sudah lah. Nanti teteh tahu sendiri deh. Yang penting orangnya itu baik, tampan dan lumayan kayalah.”
“Yang lebih penting agamanya Tut.” Sanggah Liana. Mekipun baru pertama kenal, namun Liana berbicara pada iparnya layaknya seorang kakak kandung.
Empat bulan setelah pernikahannya berlalu, Tuti kembali bertemu Tuti di rumahnya, rumah mertua Liana. Memang baru kali ini dia berkunjung ke rumah mertuanya, karena jarak yang cukup jauh dan menelan biaya perjalanan yang tidak sedikit.
“Sengaja diajukan teh, permintaan dari pihak keluarga kang Asep.” Jelas Pipit pada Liana tentang acara pernikahanya yang diajukan dua bulan.
“Mana lakimu Tut?” Tanya Liana. Tuti melihat ke sudut ruangan dan melambaikan tangannya. Tidak lama kemudian seorang lelaki yang dimaksud datang mendekat. Dia adalah Asep, suami Tuti. Baru dua kali Liana berbicara dengan Asep, setelah perkenalan itu dan saat ia pamit untuk pulang ke Surabaya. Tak banyak yang mereka obrolkan.

“Bagaimana perkembangannya, dok? Ada kemajuan?” Arul menyerang dokter dengan berbagai pertanyaan.
“Adik anda mengalami trauma. Dia depresi cukup berat.” Jelas dokter Sofyan, ahli penyakit dalam, “mungkin Anda tahu kejadian yang adik Anda alami sebelumnya?”
“Sekedar depresi, dok?” Tanya Arul.
“Bukan sekedar depresi, pak Arul, tetapi depresi berat. Butuh watu lama untuk terapi.”
“Em…… masksud saya tidak ada hal-hal lain?, karena cerita dari keluarag yang di Jawa Barat, adik saya ini kemasukan roh halus atau sejenisnya.
“Wah saya tidak paham itu pak, karena bidang saya dalah medis, bukan dunia lain. Sejauh yang saya tahu tidak ada gejala-gejala lain.” Dokter itu mengemasi peralatannya. Dimasukkannya ke dalam tas hitamnya.
“Adik bapak masih sering berteriak-teriak seperti kemarin?”
“Al-hamdulillah sudah berkurang dok.” Memang baru tadi malam Tuti tidak berteriak-teriak dan mengumpat. Berbeda dengan beberapa hari yang lalu, saat awal-awal ia dibawa ke rumah Arul dan Liana ini. Pagi, siang, sore dan mala hari Tuti selalu mengumpat, marah dan berteriak-teriak. Tidak sekali dua kali Liana dan Arul mendapat umpatan dan luluran ludah. Dan mereka hanya mampu mengucap istighfar.
“Oh ya, biasakan ia dengan bacaan-bacaan Al-Quran dan lagu-lagu rohani, mudah-mudahan mempercepat kesembuhan dia, karena Al-Quran adalah obat bagi hati yang resah.” Pesan dokter Sofyan saat hendak melangkah keluar rumah. “saya tidak melihat istri anda. Sedang pergi kemana?”
“Oh, ada dok. Sedang tidur. Semalam dia tidak bisa tidur sampai subuh.” Arul merasa Iba melihat tubuh istrinya yang semakin kurus.
Selepas kepergian dokter Sofyan, Arul melangkah masuk ke kamar depan, dimana adiknya di rawat di sana. Sengaja dipisah karena Pipit terkadang masih marah-marah dan mengumpat. Di tatapnya wajah adiknya. Pucat. Urat-uratnya nampak menyembul dari tubuhnya yang nampka kurus. Berbeda dengan saat sembilan bulan yang lalu, saat hari bahagia adiknya itu. Tanpa Arul sadari, air hangat mengalir di pipinya. “Sembuhkanlah adik hamba, ya Allah!” doa Arul dalam bisik.

Kabar itu datang saat kabut mulai menghilang dari rumah tangga Liana dan Arul. Sesaat setelah Liana mengalami pendarahan. Keluarga Arul memberitahu keadaan Tuti via telpon. Tanpa berpikir panjang, Arulpun berangkat ke Jawa Barat membawa adiknya ke kediaamnya di Surabaya. Dia tahu, ibunya tidak akan mapu merawat Tuti di rumah.
Cerita itu berawal dari dua bulan yang lalu. Sejak menikah Tuti tinggal bersama suami dan mertuanya. Malam itu Tuti datang ke rumah ibunya dengan muka pucat pasi. Baju seadanya dan rambut yang tidak tertata rapi.
“Tuti tidak kuat tinggal di sana mak, Tuti pingin pulang.” Ungkapnya malam itu. Saat itu Tuti belum sempat bercerita banyak, karena malam telah larut. Di langsung tidur dalam pelukan emaknya.

Pagi harinya, Asep datang ke rumah emak dan mengajak Tuti kembali ke rumahnya. Tanpa membantah, Tutipun pergi. Ingin sekali emak melarang waktu itu, tetapi emak tak kuasa. Bukankah dia bersama suaminya. Sejak saat itu Tuti tidak menghubungi emaknya lagi. Sampai pada saat emak menerima kabar bahwa Tuti sakit keras. Emak pun kemudian pergi ke rumah Tuti, namun dia tidak mendapatkan Tuti, begitu juga Asep. Kabar yang ia terima dari besannya, Tuti kini sedang dirawat di tempat seorang tabib. Untuk beberapa hari ini belum bisa dijenguk. Memang benar, saat beberapa hari kemudian emak datang ke tempat tabib yang dimaksud, emak mendapatkan Tuti di sana. Seakan tidak percaya, emak melihat Tuti dengan pakaian seadanya dan rambut acak-acakan, serta dengan kedua tangan dan kakinya diikat dengan seutas tali.
“Anak ibu kemasukan roh halus, jika tidak diikat dia akan marah dan mengganggu yang lain.” Jelas sang tabib.

Berjuta-juta uang telah dikeluarkan untuk biaya pengobatan pada tabib tersebut, tetapi keadaan Tuti tidak menunjukan peningkatan, bahakn keadaan Tuti semakin memprihatinkan. Wajar saja, karena oleh tabib, Tuti hanya diberi makan nasi seadanya dengan sayur asam dan lauk ikan asin atau telur. Mandipun tidak selayaknya manuisadia hanya dimasukkan ke kolam yang terdapat di belakang rumah. Konon, itu adalah caa pengobatan tabib tersebut. Hal ini diketahui dari cerita Tuti saat ia telah sembuh. Dengan berbagai alasan dan berbekal seorang polisi dari keplisian daerah yang masih saudara dengan emak, akhirnya Tuti bisa dikeluarkan dan dibawa ke Surabaya, samapai saat ini.

Pipit mengakhiri bacaa Al-Quran-nya dan menyapukan kedua telapak tangannya ke muka. Sejak sembuh dari sakitnya,Tuti kini rajin belajar Al-Quran, dngan bimbingan kak iparnya. Di depannya duduk Liana yang masih mengenakan mukenah.
“Tut, teteh boleh tahu kenapa Tuti bisa sampai depresi seperti itu?” Tanya Liana hati-hati, takut menyinggung perasaan Tuti. Sejenak Tutit tertunduk, lalu mulai berkata:
“Tuti tidak betah, teh. Tuti tersiksa.” Matanya mulai nampak berkaca-kaca. Agak lama ia berhenti.
“Teruskan Tuti, biar teteh tahu.” Sebenarnya Liana telah tahu dari beberapa penuturan saudara-saudaranya, tetapi ia ingin dengar langsung dari Tuti.
“Saudara-saudara Kang Asep pada musuhin Tuti, teh. Tuti sering dihina oleh mereka. Kata mereka Tuti ini orang kampung, orang miskin. Tuti nikah dengan kang Asep, kata mereka karena kang Asep orang kaya. Mereka menganggap Tuti mata duitan.” Air mata Tuti pun tak terbendung. Ia tersedu sedan. “Selain itu, Tuti juga kelelahan karena harus kerja siang malam di warung, sementara kang Asep cumin tenang-tenang, tidak membela aku.” Lanjutnya.
“Ya sudah, yang penting sekarang Pipit Sudah sembuh. Untuk sementara Tuti tinggal di sini aja samapai benar-benar sembuh. Gimana, setujukan?” Liana memandang wajag iparnya yang masih menunduk dan tersedu sedan. “sudah, jangan nagis dong, jelek tahu!” ia mencoba menghibur. “nanti kalau Tuti sudah pulang, Tuti ke rumah emak aja, tinggal bareng emak lagi. Jangan mau ke Asep kalau dia tidak menjemput Tuti dan ijin dengan emak. Jangan bikin emak sedih lagi, ya! Itupun kalau Tuti masih cinta Asep. Kan Tuti tahu gimana watak Asep dan keluarganya.”

Hari masih pagi. Bening embun masih menempel pada dedaunan. Kicauan burung terdengar meramaikan suasana pagi, sangat berbeda dengan di Surabaya. Bus malam yang ditumpangi Arul dan Liana melaju cepat, sehingga sepagi ini dia telah sampai di Jawa Barat. Emak yang malihat kedatangan mereka berdua segera menyongsong bawaan Liana.
“Wah, sebentar lagi emak punya cucu nih.” Kata emak sembari mengelus perut Laiana yang mulai membesar.
“Kok sepi mak, Tuti ke mana?” Tanya Liana.
Sudah dua minggu ini Tuti pindah ke rumah Asep lagi.” Jawab emak sembari menuang air putih ke gelas untuk Arul dan Tuti. Keduanya hanya terdiam. Dalam hati merka hanya berharap Tuti tidak kembali seperti dulu lagi.