Rabu, 14 Mei 2008

Saat Kau Bisa Memanggilku Papa

Semilir angin malam membawa hawa dingin yang berbaur dengan bau lemababnya tanah. Hujan turun sepanjang sore ini. Untunglah kota ini jauh dari bahaya banjir. Atau memang belum saatnya. Dari beberapa kota besar, kota ini relatif lebih aman.
Sebenarnya kota ini tidak bisa dibilang besar, tapi karena kemashurannya dia menjadi besar. Kemashuran namanya itu juga yang membawa aku datang ko kota pelajar ini.

Sejak pertama aku menginjakkan kaki di kota tua ini, aku langsung jatuh hati alias kerasan tinggal di sini. Waktu itu kota gudeg ini masih begitu asri, udaranya masih segar. Bangunan-bangunan tinggi masih belum terlalu banyak. Mall-mall masih sangat langka, sehingga jalan rayapun tidak terlalu macet, karena orang akan lebih suka berbelanja di pasar tradisional. Teman satu kontrakan dulu bilang, belanja di pasar tradisional lebih asyik, lebih merakyat. Meskipun kini dia selalu belanja di luar negeri sembari bersafari menghabiskan uang anggaran. Studi banding, katanya. ah, ternyata sama saja dia ketika masih duduk di Lemabag Eksekutif mahasiswa.

Begitulah kota kecil ini, melahirkan ribuan orang-orang dengan beribu-ribu karakter pula. Kota ini adalah miniatur Indonesia, karena semua suku berkumpul di sini. Dari ujung Sabang samapi Merauke. Saling mengenal, berkumpul, berbaur dan melebur tanpa harus kehilangan identitas kedirian. Di sini pula aku mengenal Muna, perempuan Bugis yang kini sedang duduk gelisah di lorong rumah sakit. Matanya berkaca-kaca. Sejumput rambut menyembul dari jilbab ungu yang tidak sempat dirapikannya.

“Sudahlah Mun, kita berdoa saja, moga tidak terjadi apa-apa pada Najib”, hiburku. Aku sendir tidak yakin apakah aku juga tenang dan tabah. Kalaupun tidak, aku sebagai lelaki harus menyembunyikan itu di depan perempuan yang aku cintai ini. Sebenarnya kata-kata itu lebih layak aku arahkan pada diriku sendiri, karena aku tahu peremuan seperti apa yang duduk di sampingku ini.

Sejak aku mengenalnya pada hari pertama kuliah, aku baru melihat hari-hari ini dia menangis, yaitu saat Rani, teman karibnya, meninggal akibat terseret ombak tatkala kelas kami liburan di pantai selatan. Selain itu, belum pernah aku melihatnya menangis, meski ia terkena sabetan tongkat polisi huru hara saat berdemonstrasi di depan gedung DPR. Oh.. ya, dia meneteskan air mata saat pertama kali aku mengangkat si mungil Najib dan memperlihatkan padanya yang masih tergeletak lemah di salah satu bangsal di rumah sakit. Tapi aku tahu itu adalah air mata bahagia oleh karena melihat buah hati kami. Berbeda dengan saat ini, ketika buah hati kami yang terbaring lemah di ruang ICU.

***

Aku sedang duduk diruang dosen, membaca buku sembari menunggu jam kuliah ke dua. Ku tatap jam dinding yang bergambar logo kampus. Sembilan tiga puluh. Ku coba meyakinkan dengan melihat jam di hand phone ku. Saat itulah aku melihat tujuh panggilan tak terjawab dari nomor yang sama, Muna Sayang. Dia menghubungi saat aku memeberikan kuliah di ruang kelas. Tidak ingin mahasiswaku tergangu, sengaja aku setting HP dalam keadaan silance. Aku coba menghubunginya. Terdengar suara sedikit paruh yang sesekali diiringi sesenggukan di sana. Ku laju sepeda motorku menuju rumah sakit setelah sebelumnya aku membuat kesepakatan untuk mengganti mata kuliahku di hari yang lain.

Dalam perjalan ke rumah sakit, wajah mungil Nadjib selalu terbayang. Ah, berat sekali derita yang mesti ia tanggung. Dia lahir saat kandungan Muna belum genap sembilan bulan. Saat usia kandungannya baru tujuh bulan duapuluh tujuh hari, Muna mengalami tekanan darah tinggi. Suhu badanya memanas selama dua hari. Jika ingin ibu dan bayi yang dikandungnya selamat, dokter menyarankan untuk segera mengeluarkan bayinya, meski belum saatnya. Tentu hanya dengan jalan operasi yang menelan banyak biaya. Anakku lahir, meski aku harus menjual Sebidang kebun warisanku yang ada di Sumatra. Tapi tentu anakku tidak bisa dinilai dengan harag kebun tersebut. Dia adalah kebahagian, dia adalah anugerah yang tak ternilai harganya.

Setelah kelahirnnya, kami harus mondok di rumah sakit selama dua minggu lagi, karena bayi kami harus diopen hingga benar-benar sehat. Ternyata cobaan kami tidak hanya itu. Karena lahir lebih awal, air susu istriku tidak bisa keluar, sehingga buah hati kami tidak bisa mengkonsumsi ASI. Berapapun biayanya, bagi kami tak masalah, asal ia sehat selamat. Dia adalah kebahagian kami, apalagi ia lahir sesaat sebelum wisuda magister ku.

Kini saat dia mulai bisa memanggilku papa, dia harus terbaring lagi di rumah sakit. Dia mengalami gangguan pada fungsi paru-paru. Suhu badannya panas. Aku kira semual hanya demam biasa, sehingga hanya ku bawa kepada bidan. Mungkin itu karena aku kurang memahami bidang kesehatan.

***

Seusai memeriksa perkembangan kesehatan Najib, dokter yang menangani buah hati kami itu mengajakku ke ruangannya. Setibanya di sana, dia menjelaskan bahwa Najib harus segera dioperasi. Terbayang kembali wajah manis itu, wajah yang tampan dan lucu. “Berat sekali jalan yang kau tempu anakku”. Aku menggumam. Tapi aku yakin semua ini pasti akan segera berlalu. Sesampainya dibangsal, aku sampaikan perkataan dokter tadi kepada istriku. Dia menunduk, kembali matanya berkaca-kaca. “ya Allah, berikan kemudahan kepada kami”. Ku dengar lirih doanya.

Beberapa nomer telepon aku hubungi. Demikianpun Muna. kami menghabarkan keadaan ini kepada keluaraga. Memohon doa, sekaligus dana kalau ada. Gajihku sebagai asisten dosen manalah cukup untuk membiaya pengobatann ini, penghasilan istruku sebagai guru juga tidak seberapa, apalagi baru kemarin uang itu kami gunakan untuk membayar rumah kontrakan.

Mas Erwin siap membantu biaya pengobatan, namun baru hari selasa dia bisa transfer. Itu berarti dua hari lagi. Mertuaku alias bapaknya Muna juga akan membantu biaya pengobatan cucunya itu. Mereka mengungkapkan ingin juga ke sini menemani kami, namun aku cegah karena tentu ongkos perjalanan dari kalimantan memakan biaya yang besar, apalagi Ibuku dan Mbah Eva akan datang dari Sumatra. Selain dari bantuan sanak kerabat, kami juga harus merelakan tanah warisan Muna di Kalimantan untuk dipindahtangankan. Keesokan harinya Najib mulai dioperasi.

***
Pagi menjelang. Adzan subuh mengalun merdu dari kejauhan. Udara pagi yang masih steril dari asap kendaraan menelusuk masuk melalui celah pori-pori. Baru saja Mbak Eva menghubungiku. Dia sudah berada di jalur lingkar selatan. Sebentar lagi berarti mereka tiba di terminal. Aku harus menjempunya di sana.

Ku tatap sejenak wajah pangeran kecilku yang masih terlelap tidur. Tadi malam dia terlalu lama menangis karena obat neralisasinya mungkin sudah tidak berfungsi lagi. Ku tinggalkan dia bersama ibunya dan Ibu Jumiati, teman Muna mengajar di sekolahnya. Sejak semalam dia menemani kami begadang menunggui Najib.

Ibu dan Mbak Eva sedang makan di warung soto di pinggir jalan dekat terminal saat aku tiba di sana. Mbak Eva tentu sudah hafal dengan Jogja, karena dia juga pernah kuliah di kota berhati nyaman ini. Akupun ikut makan bersama mereka, karena tentu aku tidak sempat masak.

Setelah makan, rencana merka berdua aku bawa ke rumah terlebih dahulu untuk mandi dan ganti baju, namun keburu Ibu Jumiati menghubungiku. Dimintanya segera aku ke runah sakit. Aku bonceng Ibu, sementara Mbak Eva aku suruh unutk naik ojek. Di perjalanan, tepatnya di perempatan, aku melihat sekilas wajah Naijb di lampu yang menyala merah. Dia tersenyum padaku. Aku gelengkan kepalaku beberapa kali. Mungkin akau terlalu memikirkan dia, atau mungkin juga karena kurang tidur semalam.
Sesampainya di rumah sakit aku terkjut, tiba-tiba Muna menyongsongku dan memelukku dengan tangis sedu sedan. Air matanya membasahi bajuka dan tanganku yang merangkulnya. Hangat.

“Najib mas........... Najib Najib ...... Najib......” ungkapnya terbata-bata.
Aku masih belum memahami apa yang terjadi, bahkan sampai saat Muna terkulai lemas dan hampir jatuh ke lantai jika tidak aku tahan dengan kedua tanganku.
Dibantu oleh Mbak Eva dan beberapa orang yang sedang ada di sana, ku dudukkan Muna di sebuah kursi panjang. Yakin bahwa dia telah dibantu mbak Eva, aku masuk ke bangsal anak. Ku lihat di sana ibu Jumiati sedang menghadap ke sebuah tubuh mungil yang pucat pasi, tak bergerak.

“Najib..............” Aku menjerit sekua tenaga. Cuman dia tertahan di dalam dadaku, sehingga tak seorangpun mendengar. Jeritan itu tertahan oleh setumpuk beban di dalam dada. Setumpuk rasa. Perih, pilu, sedih. Aku mengaduh, mengeluh. Secepat itukah Kamu mengambil kebahagian itu dariku? Aku tahu anak mungil itu adalah anugrah yang Kau titipkan kepadaku, tapi tidak bisakah Kau menahannya lebih lama lagi? Aku tahu itu adalah hakmu, tapi mengapa Kau tak beri kesempatan aku unutk mengemban amanahmu? Atau kesedihan ini juga adalah amanahmu? Mengapa.........??? Mengapa..........?

Terasa beban di dadaku semakin berat, sehingga udarapun tak bisa menyusup masuk. Sesak. Tubuhku pun terasa lemas. Pandanganku terasa silau oleh sinaran cahaya. Ku lihat cahaya itu memancar dari tubuh mungil yang tersenyum manis padaku. Bibirnya nampak mengungkapakan kata “papa”. Namun sekejap pandanganku berubah menjadi hitam pekat. mataku tidak melihat apa-apa. Gelap.

Selasa, 26 Februari 2008

Rumahku bukan surgaku


Pagi masih terlalu dingin. Mobilku pun tak segera menyala ketika aku starter. Udara di kota ini memang cukup dingin. Bisa dikatakan, tempat ini adalah puncaknya kota ini. Aku juga tidak paham mengapa bapak memilih membangun rumah di sini, di bukit yang berjarak 30 kilometer dari pusat kota. Bisa jadi bapak salah perkiraan.

Semula tempat ini memang sangat menarik. Kontur perbukitannya dengan sedikit lahan landai di bagian lain, membuat tempat ini begitu menarik para pebisnis perumahan dan villa. keindahan tempat ini pula yang menarik putra penguasa negeri ini saat itu untuk membangunnya menjadi resort. Namun ketika kekuasaan ayahnya tumbang, dia pun bangkrut. Masih tampak di sana sisa-sisa calon track motorkros yang belum selesai dibangun. Lahan yang luas itu kini menjadi milik pemerintah, sementara masyarakat yang dulu diusir dari tempat tersebut tidak bisa kembali mengambil tanahnya, kecuali dia seperti bapakku yang punya jabatan dan kekayaan.

Jujur aku katakana, rumahku bukanlah rumah yang dibangun asal-asalan, karena arsisteknya, Wijayakusuma, yang tidak lain adalah ayahku sendiri, adalah jebolan universitas terkemuka di Prancis. Dengan kamahirannya itu dia membangun rumah ini, perpaduan antar arsistektur modern dan arsisterktur jawa kuno. Justru yang tidak nampak adalah corak kesumatraanya, padahal kami tinggal di pintu gerbang Sumatra. Namun aku tidak heran, karena bapak memang orang jawa tulen.

Kami memang keluarga jawa. Bahakan anak-anak bapak, termasuk aku anak yang ketiga sekaligus terakhir, semuanya lahir di Jawa. Kami baru pindah ke sini saat usiaku sekitar 13 tahun, saat aku masih duduk di kelas dua SLTP. Saat itu bapak mendapatkan proyek besar di sini, pembangunan resort milik putra penguasa negeri ini kala itu. Namun meskipun proyek itu gagal, dan semua asset disita oleh pemerintah, bapak tetap selamat. Itu karena kedekatan bapak dengan semua orang, khusunya para pembesar pemerintah daerah di sini. Malah bapak kini menjadi direktur sekaligus pemegang saham terbesar di salah satu perusahan konstruksi.

Saat pertama ke kota ini, kami tinggal di rumah yang kami sewa di dekat tempat kerja bapak, tidak jauh dari tempat tinggal kami sat ini. Baru setahun kemudian bapak membangunkan “istana” ini. Yah, banyak tetangga dan tamu yang datang ke rumah mengatakan rumah ini adalah istana. Bahkan Alfian, teman sekolahku di SMA menyebutnya sebagai miniatur surga. Waktu itu memang kami baru belajar pelajaran agama yang diletakkan, atau lebih cocoknya disispkan pada jam terakhir. Guru agama kamii menjelaskan tentang taman surga, dimana air yang cukup jernih mengalir, buah-buahan tersedia dan mudah dipetik, bunga-bunga bermekaran di sana sini, suara-suara burung yang terdengar merdu. Apa saja yang manusia inginkan ada di surga. demikian kata guruku. Dan semua itu seakan telah tersedia di rumahku.

“Bukankah ibu guru tadi bilang kita harus menjadikan rumah kita sebagi surga, rumahku surgaku”, kata Alfian protes setelah aku katakan pada dia, rumah ini seperti neraka bagiku. Bagaimana tidak. Setiap hari yang aku dengar adalah pertengkaran bapak dan ibu pada pagi hari sebelum keduanya pergi bekerja. Tentu bukan di meja makan, karena sejak pindah ke Sumatra ini kami tidak pernah lagi makan bersama. Itu pula yang menyebabkan kami jarang bertegur sapa, apalagi guyup larut dalam obrolan. Paling hanya aku dan Liana, saudaraku yang kedua. Saudara pertamaku, Mas Agung, tidak ikut pindah ke Sumatra. Dia memilih tinggal bersama kakek nenek di Jawa. Beruntunglah dia tidak iktu pindah. Dan sekarang dia telah dikarunia satu orang anak. Mudah-mudahan dia tidak meniru sikap bapak.

Sebagai seorang kepala keluarga, bapak bersikap layaknya seorang raja. Semua perkataannya harus didengar. Namun tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Sementara ibu justru tidak selayaknya permaisuri yang manut nurut pada raja, tetapi dia menjadi Ken Dedes yang memberontak pada suaminya. Sehingga pertengkaran tidak bisa dielakkan. Itu pula yang memebadakan dia dengan Ken Dedes. Ken Dedes masih berbicara lembut dengan suaminya, tetapi ibuku tida lagi berbicara lembut selayaknya seorang wanita solo yang pernah aku kenal.

Ketika terjadi perang kata, aku memilih diam atau pergi begitu saja meninggalakan rumah, ke rumah Alfian atau ke Game Center. Pulang menejelang larut malam. Namun seringkali aku tidak mendapatkan kedua orang tuaku di rumah. Semula aku sering menanyakan pada Liana, namun selalu jawabanya sama, belum pulang. Mereka berdua pulang larut malam, dengan mobilnya masing-masing. Bahkan kadang tidak pulang ke rumah.

Sikap kediktatoran bapak juga yang menyuruhku kuliah di bidang arsistektur, biar bisa meneruskan usaha bapak, katanya. Padahal waktu itu aku ingin belajar sastra Inggris. Aku hanya bisa diam dan menurutinya, meski dalam hati terbesit satu tekad, aku tidak akan pernah meniru bapak.

***
Lima tahun aku kuliah di Perancis. Semula aku ingin mengikuti jejak mas Agung, tinggal dan membangun keluarga di Jawa. Pernah aku utarakan maksudku pada Endah, teman kuliahku sesama orang Indonesia, tapi dia malah menganggapku bergurau. Selama aku kuliah, dialah orang yang banyak aku ajak bicara tentang keluargaku. Aku bercerita padanya, menuangkan seluruh gundah gulanaku, setelah aku dapat kabar meninggalnya ibu. Aku ceritakan padanya tentang keluargaku padanya meskipun tidak semua tetek bengeknya. Karena sedikit berat membicarakan permasalahan keluarga dengan orang lain yang bukan keluargaku. Menceritakan bapakku yang sering pergi, ibuku yang jarang di rumah, saudara perempuanku yang ikut-ikutan ngeluyur. Bukankah itu aib kelurga yang tidak perlu aku bicarakan dengan orang lain, kecuali jika sudah terlanjur alias keceplosan karena sudah tidak kuat aku memendamnya.

Tidak ada penyambutan, tidak ada selebrasi atau sejenisnya. Keinginanku untuk langsung pulang ke rumah aku batalkan. Aku mencari rumah kontrakkan dan menaruk semua barang-barangku di sana. Setelah dua bulan baru aku datang ke rumah.
Lima tahun bagiku waktu yang lama tinggal di negeri orang, jauh dari orang-orang yang aku hormati, cintai, namun sering juga aku benci. Sempat juga aku merindukan miniatur surga itu. Namun ternyata waktu lima tahun tidak cukup untuk memperbaiki kebobrokan rumah ini.

Tak ada ada banyak perubahan di rumah ini. Bunga-bunga itu, kolam ikan, air mancur, ayunan yang tergantung di pohon jambu di belakang rumah. Hanya saja aku tidak mendnegar kicauan burung lagi. Kata Pak Parman, pembantu rumah ini, bilang bapak takut terjangkit flu burung, sehingga burung-burung itu dikasihkan ke teman-temannya. Aneh, bukannya bapak jarang di rumah, mengapa mesti takut? Justru Parman dan teman-temannya sesama pembantulah yang selayaknya ttakut, karena mereka yang saben hari tinggal di rumah ini dan merawatnya. Memang tidak ada yang berubah, termasuk sikap bapak.

Sejak meninggalnya ibu, bapak tambah jarang di rumah. Liana pun sibuk dengan pekerjaannya. Aku coba memaksa diriku bertahan tinggal di rumah ini, yang semula aku kira bisa menganggapnya menjadi surga. namun tetap, rumah ini bukan surgaku, bukan baiti jannati, tetapi justru menjadi neraka yang orang tidak akan pernah betah tinggal di dalamnya.

***
Sudah sepuluh hari ini bapak tidak pulang ke rumah. Kabar yang aku dengar dia tinggal di apartemen temannya yang proyeknya baru bapak selesaikan. Sebagai imbalan, bapak mendapatkan satu apartemen di gedung itu. Dan akupun lebih senang tinggal di rumah kontrakkanku.

Mengetahui bapak tinggal di apartemen temannya tidak membuatku pusing. Apalagi aku mulai larut dalam tugas-tugas kantor. Sampai pada satu hari aku mendapatkan berita yang tidak mengenakan dan menyesakkan hatiku. Bapak meninggal, jenajahnya kini ada di salah satu rumah sakit di ibu kota.

Ceritanya berawal dari seorang pelayan catering yang mendapatkan bapak terkulai di kamarnya, kemudian pelayan tersebut memangil Pak Heru, pemilik apartemen sekaligus teman bapak. Rumah sakit daerah tidak bisa menangani penyakit bapak, dan harus dirujuk ke rumah sakit ibu kota. Namun naas, sesaat setelah diturunkan dari pesawat, bapak menghembuskan nafas terakhirnya.

Satu tahun sepeninggalan bapak, kami tiga bersaudara sepakat unutk menjual rumah peninggalan keluarga itu. Liana tinggal bersama suaminya di Palembang. Mas Agung tetap tinggal di Jawa. Sementara aku mebeli rumah sederhana yang selama ini aku kontrak.

Bagiku, baiti jannati tidak harus rumah itu besar, luas, mewah, dimana air jernih mengalir dan memancar, sebidang taman bunga dan buah-buahan yang rimbun, ataupun kolam ikan yang jernih hingga ikan yang di dasar kolam terlihat jelas. Juga bukan rumah dengan segudang pembantu yang siap melayani setiap saat. Rumahku surgaku adalah rumah yang harmonis, saling perngertian satu sama lain yang timbul karena adanya komunikasi. Dia adalah rumah, bukan istana dengan seonggok raja. Rumah yang guyup dengan tegur sapa dan canda di meja makan.

Sabtu, 12 Januari 2008

Astuti

Dalam remang cahaya lampu lima watt, kedua mata Liana memandang langit-langit kamar yang dicat dengan warna pink, warna yang mendominasi barang-barang yang ia miliki, dari pakaian, sepatu, hand phone dan aksesorisnya, buku harian dan benda-benda lainnya. Tidak ketinggalan warna cat rumahnya. Pikirnya melayang entah ke mana. Tatapannya kosong. Hanya desah nafasnya yang menunjukan dia masih hidup dan terjaga.

“Sudah, tidurlah dulu. Besok kita bicarakan lagi” kata Arul, memecahkan kebekuan. “besokkan kamu harus bangun pagi, berangkat kerja”, lanjutnya. Arul kembali berbaring di samping istrinya, menarik selimutnya ke atas menutupi tubuhnya hingga leher. Dibalikannya wajahnya mengahadap ke arah Liana, istrinya. Ditatapnya wajah wanita yang bebaring di sampingnya itu. Diperhatikannya lesung pipit yang mengembang dan mengempis di pipinya. Lesung pipit itu lah yang dua tahun lalu membuatnya susah tidur sejak pertema berkenalan dengan sang empunya di perpustakaan daerah. Di sentuhnya pipi istrinya.

“Kenapa menangis”
“Saya kasihan pada Tuti mas. Dia masih terlalu muda untuk menanggung beban hidup ini” jawab Liana dalam sedikit sedan.
“Yah, itukan resiko dari sebuah pernikahan. Ketika kita sudah menikah, berarti kita juga harus siap menanggung resikonya.” Arul menyeka air mata istrinya. “kita berdoa saja, semoga Tuti cepat sembuh.”

Malam terus merambat, membawa mimpi-mimpi anak Adam, membawa jiwa-jiwa resah hanyut dalam lelap tidur. Namun Liana masih tetap terjaga. Lamunannya membawa ia pada peristiwa paling bersejarah dalam hidupnya ketika ketulusan membungkus ikrar pada akad nikah dirinya dengan lelaki yang kini berbaring di sampingnya. Saat itu pula pertama kali dia mengenal Tuti yang kini menjadi adik iparnya.
“Teh, Tuti enam bulan lagi kayak tetah. Teteh harus datang lho.” Dengan gembira Pipit mengabarkan hari pernikahannya. Tuti adalah saudara semata wayang Arul. Keduanya ditinggal abah mereka saat Tuti baru berusia dua tahun. Saat itu Arul kelas lima sekolah dasar.

“Emang sudah siap kamu?” Tanya Liana. “dapat orang mana kamu Tut?” lanjutnya.
“Masak kalau belum siap Tuti mau teh. Ya jelas sudah lah. Nanti teteh tahu sendiri deh. Yang penting orangnya itu baik, tampan dan lumayan kayalah.”
“Yang lebih penting agamanya Tut.” Sanggah Liana. Mekipun baru pertama kenal, namun Liana berbicara pada iparnya layaknya seorang kakak kandung.
Empat bulan setelah pernikahannya berlalu, Tuti kembali bertemu Tuti di rumahnya, rumah mertua Liana. Memang baru kali ini dia berkunjung ke rumah mertuanya, karena jarak yang cukup jauh dan menelan biaya perjalanan yang tidak sedikit.
“Sengaja diajukan teh, permintaan dari pihak keluarga kang Asep.” Jelas Pipit pada Liana tentang acara pernikahanya yang diajukan dua bulan.
“Mana lakimu Tut?” Tanya Liana. Tuti melihat ke sudut ruangan dan melambaikan tangannya. Tidak lama kemudian seorang lelaki yang dimaksud datang mendekat. Dia adalah Asep, suami Tuti. Baru dua kali Liana berbicara dengan Asep, setelah perkenalan itu dan saat ia pamit untuk pulang ke Surabaya. Tak banyak yang mereka obrolkan.

“Bagaimana perkembangannya, dok? Ada kemajuan?” Arul menyerang dokter dengan berbagai pertanyaan.
“Adik anda mengalami trauma. Dia depresi cukup berat.” Jelas dokter Sofyan, ahli penyakit dalam, “mungkin Anda tahu kejadian yang adik Anda alami sebelumnya?”
“Sekedar depresi, dok?” Tanya Arul.
“Bukan sekedar depresi, pak Arul, tetapi depresi berat. Butuh watu lama untuk terapi.”
“Em…… masksud saya tidak ada hal-hal lain?, karena cerita dari keluarag yang di Jawa Barat, adik saya ini kemasukan roh halus atau sejenisnya.
“Wah saya tidak paham itu pak, karena bidang saya dalah medis, bukan dunia lain. Sejauh yang saya tahu tidak ada gejala-gejala lain.” Dokter itu mengemasi peralatannya. Dimasukkannya ke dalam tas hitamnya.
“Adik bapak masih sering berteriak-teriak seperti kemarin?”
“Al-hamdulillah sudah berkurang dok.” Memang baru tadi malam Tuti tidak berteriak-teriak dan mengumpat. Berbeda dengan beberapa hari yang lalu, saat awal-awal ia dibawa ke rumah Arul dan Liana ini. Pagi, siang, sore dan mala hari Tuti selalu mengumpat, marah dan berteriak-teriak. Tidak sekali dua kali Liana dan Arul mendapat umpatan dan luluran ludah. Dan mereka hanya mampu mengucap istighfar.
“Oh ya, biasakan ia dengan bacaan-bacaan Al-Quran dan lagu-lagu rohani, mudah-mudahan mempercepat kesembuhan dia, karena Al-Quran adalah obat bagi hati yang resah.” Pesan dokter Sofyan saat hendak melangkah keluar rumah. “saya tidak melihat istri anda. Sedang pergi kemana?”
“Oh, ada dok. Sedang tidur. Semalam dia tidak bisa tidur sampai subuh.” Arul merasa Iba melihat tubuh istrinya yang semakin kurus.
Selepas kepergian dokter Sofyan, Arul melangkah masuk ke kamar depan, dimana adiknya di rawat di sana. Sengaja dipisah karena Pipit terkadang masih marah-marah dan mengumpat. Di tatapnya wajah adiknya. Pucat. Urat-uratnya nampak menyembul dari tubuhnya yang nampka kurus. Berbeda dengan saat sembilan bulan yang lalu, saat hari bahagia adiknya itu. Tanpa Arul sadari, air hangat mengalir di pipinya. “Sembuhkanlah adik hamba, ya Allah!” doa Arul dalam bisik.

Kabar itu datang saat kabut mulai menghilang dari rumah tangga Liana dan Arul. Sesaat setelah Liana mengalami pendarahan. Keluarga Arul memberitahu keadaan Tuti via telpon. Tanpa berpikir panjang, Arulpun berangkat ke Jawa Barat membawa adiknya ke kediaamnya di Surabaya. Dia tahu, ibunya tidak akan mapu merawat Tuti di rumah.
Cerita itu berawal dari dua bulan yang lalu. Sejak menikah Tuti tinggal bersama suami dan mertuanya. Malam itu Tuti datang ke rumah ibunya dengan muka pucat pasi. Baju seadanya dan rambut yang tidak tertata rapi.
“Tuti tidak kuat tinggal di sana mak, Tuti pingin pulang.” Ungkapnya malam itu. Saat itu Tuti belum sempat bercerita banyak, karena malam telah larut. Di langsung tidur dalam pelukan emaknya.

Pagi harinya, Asep datang ke rumah emak dan mengajak Tuti kembali ke rumahnya. Tanpa membantah, Tutipun pergi. Ingin sekali emak melarang waktu itu, tetapi emak tak kuasa. Bukankah dia bersama suaminya. Sejak saat itu Tuti tidak menghubungi emaknya lagi. Sampai pada saat emak menerima kabar bahwa Tuti sakit keras. Emak pun kemudian pergi ke rumah Tuti, namun dia tidak mendapatkan Tuti, begitu juga Asep. Kabar yang ia terima dari besannya, Tuti kini sedang dirawat di tempat seorang tabib. Untuk beberapa hari ini belum bisa dijenguk. Memang benar, saat beberapa hari kemudian emak datang ke tempat tabib yang dimaksud, emak mendapatkan Tuti di sana. Seakan tidak percaya, emak melihat Tuti dengan pakaian seadanya dan rambut acak-acakan, serta dengan kedua tangan dan kakinya diikat dengan seutas tali.
“Anak ibu kemasukan roh halus, jika tidak diikat dia akan marah dan mengganggu yang lain.” Jelas sang tabib.

Berjuta-juta uang telah dikeluarkan untuk biaya pengobatan pada tabib tersebut, tetapi keadaan Tuti tidak menunjukan peningkatan, bahakn keadaan Tuti semakin memprihatinkan. Wajar saja, karena oleh tabib, Tuti hanya diberi makan nasi seadanya dengan sayur asam dan lauk ikan asin atau telur. Mandipun tidak selayaknya manuisadia hanya dimasukkan ke kolam yang terdapat di belakang rumah. Konon, itu adalah caa pengobatan tabib tersebut. Hal ini diketahui dari cerita Tuti saat ia telah sembuh. Dengan berbagai alasan dan berbekal seorang polisi dari keplisian daerah yang masih saudara dengan emak, akhirnya Tuti bisa dikeluarkan dan dibawa ke Surabaya, samapai saat ini.

Pipit mengakhiri bacaa Al-Quran-nya dan menyapukan kedua telapak tangannya ke muka. Sejak sembuh dari sakitnya,Tuti kini rajin belajar Al-Quran, dngan bimbingan kak iparnya. Di depannya duduk Liana yang masih mengenakan mukenah.
“Tut, teteh boleh tahu kenapa Tuti bisa sampai depresi seperti itu?” Tanya Liana hati-hati, takut menyinggung perasaan Tuti. Sejenak Tutit tertunduk, lalu mulai berkata:
“Tuti tidak betah, teh. Tuti tersiksa.” Matanya mulai nampak berkaca-kaca. Agak lama ia berhenti.
“Teruskan Tuti, biar teteh tahu.” Sebenarnya Liana telah tahu dari beberapa penuturan saudara-saudaranya, tetapi ia ingin dengar langsung dari Tuti.
“Saudara-saudara Kang Asep pada musuhin Tuti, teh. Tuti sering dihina oleh mereka. Kata mereka Tuti ini orang kampung, orang miskin. Tuti nikah dengan kang Asep, kata mereka karena kang Asep orang kaya. Mereka menganggap Tuti mata duitan.” Air mata Tuti pun tak terbendung. Ia tersedu sedan. “Selain itu, Tuti juga kelelahan karena harus kerja siang malam di warung, sementara kang Asep cumin tenang-tenang, tidak membela aku.” Lanjutnya.
“Ya sudah, yang penting sekarang Pipit Sudah sembuh. Untuk sementara Tuti tinggal di sini aja samapai benar-benar sembuh. Gimana, setujukan?” Liana memandang wajag iparnya yang masih menunduk dan tersedu sedan. “sudah, jangan nagis dong, jelek tahu!” ia mencoba menghibur. “nanti kalau Tuti sudah pulang, Tuti ke rumah emak aja, tinggal bareng emak lagi. Jangan mau ke Asep kalau dia tidak menjemput Tuti dan ijin dengan emak. Jangan bikin emak sedih lagi, ya! Itupun kalau Tuti masih cinta Asep. Kan Tuti tahu gimana watak Asep dan keluarganya.”

Hari masih pagi. Bening embun masih menempel pada dedaunan. Kicauan burung terdengar meramaikan suasana pagi, sangat berbeda dengan di Surabaya. Bus malam yang ditumpangi Arul dan Liana melaju cepat, sehingga sepagi ini dia telah sampai di Jawa Barat. Emak yang malihat kedatangan mereka berdua segera menyongsong bawaan Liana.
“Wah, sebentar lagi emak punya cucu nih.” Kata emak sembari mengelus perut Laiana yang mulai membesar.
“Kok sepi mak, Tuti ke mana?” Tanya Liana.
Sudah dua minggu ini Tuti pindah ke rumah Asep lagi.” Jawab emak sembari menuang air putih ke gelas untuk Arul dan Tuti. Keduanya hanya terdiam. Dalam hati merka hanya berharap Tuti tidak kembali seperti dulu lagi.